Fakta membuktikan bahwa dalam periode 2001-2024 atau selama 23 tahun Pemilihan Kepala Daerah menunjukan bahwa perbandingan Pemilihan Kepala Daerah, baik Bupati, Wakil Bupati dan Walikota, wakil Walikota menunjukan ketidakadilan dan ketidakberpihakan pada hak politik Orang Asli Papua.
"Artinya, pemilihan kepala daerah di Papua juga telah menjadi pemicu rasa ketidakadilan bagi masyarakat Papua dalam aspek politik," tuturnya.
Asosiasi MRP menyadari bahwa keputusan terkait Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota, Calon Wakil Walikota harus OAP belum diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021
tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
"Namun kami berharap sesuai prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis yang menghendaki perundang-undangan yang
bersifat khusus, mengesampingkan perundang-undangan yang bersifat
umum, maka meminta agar Pemerintah Pusat dan Komisi Pemilihan Umum RI memperhatikan dan menindaklanjuti," papar dia.
Lanjutnya, keputusan Asosiasi MRP Se-Wilayah Papua diambil dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak pada pra maupun pasca Pilkada serentak di Wilayah Papua.
"Keputusan ini atas desakan masyarakat Adat, Agama dan Perempuan Se-Wilayah Papua. Hal ini dipandang sebagai bentuk kebijakan afirmatif dan proteksi Hak Kesulungan Orang Asli Papua. Minimal OAP menjadi tuan rumah dan mengatur daerahnya dalam bingkai NKRI," tegas dia.
Menanggapi aspirasi tersebut, Ketua DPD RI akan menindaklanjuti dengan memprosesnya di tingkat Komite I dan berkordinasi dengan para anggota DPD RI dari daerah pemilihan Papua. Selain itu, LaNyalla juga akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada Presiden Jokowi.
Load more