Setahun setelah membentuk kelompok, dan intens menjalin komunikasi dengan pihak taman nasional, Rita dan kelompoknya mengajukan proposal skema kemitraan konservasi. Mereka juga mulai membuat identifikasi tanaman lokal untuk rencana pengembangan.
Upayanya berbuah manis. Pada 2019 Rita menandatangani perjanjian kerjasama dalam skema kemitraan lima tahun yang dapat diperpanjang. Setelahnya, bekerjasama dengan Balai taman nasional, Rita dan kelompok mulai membicarakan teknis zonasi dan tanaman yang tepat. Terpilihlah tanaman kecombrang dan pakis untuk dibudidayakan di bawah tegakan pohon. Sedikit demi sedikit lahan mulai ditanami dan berhasil dipanen.
Kini Rita dan kelompoknya telah mahir mengubah kedua tanaman itu menjadi berbagai bentuk olahan siap makan. Menurut Dedek, pendampingan yang dilakukan lembaganya perlu proses yang tidak sebentar dan perlu interaksi intens, sampai para ibu mengambil aksi memanfaatkan peluang ekonomi hasil hutan bukan kayu dengan prinsip konservasi.
“Kami berupaya agar para ibu tetap di depan untuk mengerjakan proposal, menyelesaikan syarat-syarat administrasi dan lainnya. Kami sekadar mendampingi,” katanya.
Selain konservasi, di desa berbeda meski dalam kawasan yang sama, LivE juga mendampingi para mantan perambah liar untuk mendapat akses legal pengelolaan hutan. Selama ini para polisi hutan menggunakan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menetapkan para perusak hutan terancam hukuman pidana 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 Miliar. Donsri adalah salah satu dari bekas perambah yang pernah menggunakan area taman nasional untuk berladang.
“Saya kucing-kucingan dengan petugas untuk menggarap lahan,” kata perempuan petani yang bermigrasi dari Jawa pada 1980-an itu.
Load more