ilustrasi akad.
Sumber :
  • iStockPhoto/Nanang Solahudin

Jumat Sore Menjadi Hari yang Dianjurkan untuk Melangsungkan Pernikahan, Berikut Penjelasannya

Kamis, 8 September 2022 - 20:30 WIB

tvOnenews - Pernikahan merupakan keinginan setiap insan. Bagi umat Muslim, pernikahan menjadi salah satu ibadah yang akan menyempurnakan separuh agama. Dari Anas bin Malik RA Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya.” 

Pernikahan bertujuan diantaranya adalah untuk menjaga kesinambungan garis keturunan, menciptakan keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat. Lalu bagaimana waktu terbaik untuk melangsungkan pernikahan?

Dirangkum dari buku “Fiqhul Islam Wa Adillatuhu - jilid 9” karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, berikut anjuran waktu untuk melaksanakan pernikahan,

Hendaknya melangsungkan akad nikah pada hari Jumat Sore


img: Freepik/freepik.diller

Waktu terbaik untuk melangsungkan pernikahan adalah pada hari Jumat dan di waktu sore hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah secara marfu', Rasulullah SAW bersabda,

"Lakukanlah pernikahan di waktu sore' Karena sesungguhnya saat itu adalah keberkahan paling agung.”

Demikian juga karena hari jumat adalah hari mulia dan hari raya. Keberkahan dalam pernikahan adalah sesuatu yang diharapkan. Oleh sebab itu, dianjurkan agar dilakukan di hari yang paling mulia demi mencari keberkahan.

Juga dianjurkan agar dilakukan pada waktu sore hari, karena di akhir siang dari hari jumaat terdapat waktu yang mustajab.

Mengumumkan pernikahan dan memukul rebana


img: Pixabay/Luciano Raul

Selain memilih waktu yang tepat, penting juga untuk menentukan rangkaian persiapan pernikahan, termasuk persiapan mengundang kerabat dan keluarga. Dianjurkan pernikahan agar diumumkan, sebagaimana sabda Nabi saw., "UmumkanIah pernikahan.” 

"Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana,”

Dalam buku “Fiqhul Islam Wa Adillatuhu - jilid 9” Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, Imam an-Nasa'i meriwayatkan, "Pemisah antara halal dan haram dalam pernikahan adalah suara dan rebana."

Dalam walimatul ursy diperkenankan untuk mendendangkan lagu yang mubah atau gurauan yang tidak dikhususkan kepada orang tertentu. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,

"Dari Aisyah, bahwasannya dia menikahkan seorang perempuan yatim dengan seorang Ielaki dari kaum Anshar. Aisyah termasuk orang yang ikut mengantarkannya ke suaminya. Dia (Aisyah) berkata, "Tatkala kami pulang, Rasulullah SAW. bertanya kepada kami, 'Apa yang kamu katakan wahai Aisyah?" 

Dia menjawab, "Kami mengucapkan salam dan berdoa kepada Allah agar memberi mereka berkah, kemudian kami berpisah." Beliau bersabda, "Sesungguhnya kaum Anshar memiliki gurauan. Wahai Aisyah, tidakkah kalian mengucapkan: kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian, maka ucapkan selamat pada kami dan pada kalian?"

Para ulama Malikiah yang tidak mensyaratkan saksi ketika akad, berkata: disunahkan ada saksi ketika akad, demi keluar dari perselisihan pendapat. Karena banyak sekali dari para imam berpandangan bahwa pernikahan tidaklah sah melainkan dengan ada kesaksian ketika akad. 

Mereka berpandangan bahwa akad tersebut sah, sekalipun tidak ada kesaksian ketika akad, seperti halnya pada jual-beli.

Akan tetapi keabsahannya tidak sepenuhnya dan tidak ada pengaruh apa pun setelahnya, seperti kehalalan untuk bersenang-senang dengan istri melainkan setelah adanya kesaksian sebelum melakukan akad. 

Oleh sebab itu, diperbolehkan melangsungkan akad kedua mempelai secara sembunyi-sembunyi, kemudian mereka berdua memberitahu kepada dua orang lelaki yang adil, seperti berkata, "Kami berdua telah melangsungkan akad, si Fulan nikah dengan si Fulanah."

Atau sang wali memberitahu dua orang lelaki yang adil dan suami memberitahu dua lelaki yang adil lainnya. 

Tidaklah cukup salah satu dari keduanya hanya memberitahu kepada satu orang lelaki yang adil, dan satunya lagi memberitahu satu orang lelaki yang adil lainnya. Karena dalam keadaan seperti itu dianggap masih seperti satu orang saja. (Mzn)

 

Sumber: buku “Fiqhul Islam Wa Adillatuhu - jilid 9” karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:50
03:27
02:06
03:04
03:16
05:48
Viral