- Antara / YouTube Al Bahjah TV
Tradisi Panjang Jimat Cirebon Peringati Maulid Nabi: Warisan Sunan Gunung Jati yang Sarat Makna, Bagaimana Hukumnya Menurut Islam?
tvOnenews.com - Memangnya boleh melakukan tradisi panjang jimat untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW? Begini penjelasan Buya Yahya dalam hukujm Islam.
Tradisi dan budaya sering kali menjadi jembatan antara nilai keagamaan dan identitas masyarakat. Di Cirebon, salah satu ritual yang masih bertahan hingga kini adalah Gelar Tradisi Panjang Jimat yang digelar setiap tahun dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Acara ini tidak hanya berfungsi sebagai perayaan keagamaan, melainkan juga sebagai simbol pelestarian warisan leluhur yang diturunkan sejak masa Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa.
Ribuan warga dari berbagai daerah memadati Keraton Kasepuhan Cirebon saat Panjang Jimat berlangsung.
Tradisi ini dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, doa bersama, hingga pembacaan kitab Barzanji yang menceritakan keagungan Nabi Muhammad SAW.
Puncak prosesi ditandai dengan keluarnya pusaka-pusaka keramat milik keraton yang diarak menuju mushola untuk ditahlilkan, sebelum akhirnya dikembalikan ke tempat penyimpanan semula.
Momen ini sarat akan nuansa khidmat, mempertemukan nilai spiritualitas, sejarah, dan budaya dalam satu bingkai.
Kehadiran tokoh adat, ulama, perwakilan pemerintah, hingga tamu mancanegara menegaskan bahwa Panjang Jimat bukan sekadar tradisi lokal, melainkan peristiwa kebudayaan yang bernilai universal.
Menurut Patih Sepuh Keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Goemelar Soeriadiningrat, acara tahunan ini bukan hanya agenda budaya, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap kelahiran Rasulullah SAW.
Masyarakat pun menyambut dengan penuh antusias, berharap mendapatkan keberkahan dari peringatan Maulid Nabi yang digelar dengan penuh kekhidmatan.
Nilai Religius dalam Tradisi Panjang Jimat
Tradisi Panjang Jimat memiliki makna mendalam bagi masyarakat Cirebon. Selain menjadi sarana memperingati kelahiran Rasulullah SAW, acara ini juga mengingatkan generasi penerus akan pentingnya menjaga warisan leluhur.
Kehadiran pusaka keraton dalam prosesi, doa bersama, hingga pembacaan kitab Barzanji, menjadi simbol bahwa sejarah, budaya, dan agama dapat berpadu harmonis tanpa kehilangan nilai esensialnya.
Dengan digelarnya tradisi ini, Keraton Kasepuhan menegaskan kembali posisinya sebagai pusat spiritual dan budaya Islam di Cirebon.
Ribuan orang yang hadir membuktikan bahwa Panjang Jimat tidak hanya dipandang sebagai ritual semata, tetapi juga sebagai ajang memperkuat identitas keislaman sekaligus menjaga ikatan sosial masyarakat.
Bagaimana Hukumnya Menurut Syariat Islam?
Meski tradisi Maulid Nabi sudah berlangsung berabad-abad, tidak sedikit kelompok yang menganggap perayaannya sebagai bid’ah lantaran tidak pernah dilakukan langsung pada masa Rasulullah SAW.
Pandangan ini sering menimbulkan perdebatan di tengah umat. Untuk menjawab hal tersebut, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) memberikan penjelasan yang lebih luas.
Menurut Buya Yahya, Rasulullah SAW memang tidak pernah merayakan hari kelahirannya secara khusus. Namun, beliau memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin.
Kendati demikian, inti dari peringatan Maulid Nabi bukanlah pada acaranya, melainkan pada usaha menghadirkan akhlak, teladan, dan ajaran Rasulullah dalam kehidupan umat.
“Jadi, semua yang ada pada Nabi perlu dihadirkan. Cara menghadirkan semua yang ada pada Nabi adalah dengan cara semacam ini (memperingati Maulid Nabi),” jelas Buya Yahya dalam ceramahnya, dikutip dari YouTube Al Bahjah TV.
Ia menambahkan, perayaan Maulid Nabi sejatinya adalah wadah untuk memotivasi umat agar semakin mengenal, mencintai, dan membela Nabi Muhammad SAW.
Maulid Nabi: Antara Tradisi dan Kecintaan pada Rasulullah
Buya Yahya menegaskan bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa istimewa yang patut disyukuri. Meski sahabat Rasul tidak merayakan Maulid sebagaimana saat ini, hal tersebut bukan berarti dilarang.
“Sahabat sudah berada di puncak kecintaan kepada Nabi. Pertanyaannya, bagaimana dengan cintamu kepada Rasulullah?” ujar Buya Yahya.
Ia menekankan bahwa perayaan Maulid Nabi tidak boleh didefinisikan semata sebagai acara seremonial, tetapi harus dipahami sebagai sarana untuk menghadirkan sunnah Nabi, meneladani akhlak beliau, dan memperkuat rasa cinta umat kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian, tradisi seperti Panjang Jimat di Cirebon dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi kecintaan umat kepada Nabinya, selama tetap berada dalam bingkai syariat Islam.
Tradisi Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan Cirebon menjadi bukti nyata bagaimana warisan budaya dan nilai agama dapat berjalan beriringan.
Prosesi yang sakral ini tidak hanya memperkaya identitas budaya masyarakat Cirebon, tetapi juga menjadi sarana mempertebal kecintaan umat kepada Rasulullah SAW.
Penjelasan Buya Yahya menegaskan bahwa esensi Maulid Nabi adalah menghadirkan keteladanan Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, tradisi Panjang Jimat bukan hanya sekadar acara adat, melainkan juga bentuk rasa syukur dan ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Inilah yang membuatnya tetap relevan hingga kini, sekaligus menjadi jembatan antara warisan leluhur dan nilai Islam yang abadi. (udn)