- dok tim tvOnenews.com
Mudik dan Puasa: Kapan Diperbolehkan untuk Membatalkan? Ini Penjelasan Ustaz Adi Hidayat
Selain jarak tempuh saat mudik, tingkat kesulitan dalam perjalanan juga menjadi pertimbangan ketika umat Islam diperbolehkan tidak berpuasa.
Tingkat kesulitan tersebut diukur apabila seorang muslim merasakan kesulitan ketika menjalankan ibadah puasa, seperti tubuh melemah karena panasnya sinar matahari di jalan, maka diperbolehkan untuk membatalkan puasa.
Lalu, bagaimana jika mengalami hal seperti itu?
Kemudian, Ustaz Adi Hidayat menceritakan tentang kisah Nabi Muhammad SAW ketika bertemu dengan seorang muslim yang sedang berpuasa dan beristirahat di bawah pohon palem.
“Dalam sebuah riwayat dijelaskan ada seseorang menjalankan satu perjalanan dan tiba-tiba dia kelelahan lalu duduk di bawah satu naungan pohon,” ujar UAH.
Nabi Muhammad SAW kemudian datang kepadanya dengan bertanya mengapa ia seperti itu. Orang yang melakukan perjalanan tersebut kemudian memberitahu pada Nabi bahwa dirinya sedang berpuasa.
Rasulullah SAW mengungkapkan tidak baik apabila seseorang berpuasa dalam keadaan safar. Atas dasar tersebut, para ulama membolehkan seseorang dalam keadaan safar untuk membatalkan puasa.
Namun, berbeda kondisi bila seseorang yang melakukan perjalanan jauh tapi tetap merasa nyaman dan tak mengalami kesulitan.
“Jika Anda bepergian misal ke Semarang jaraknya jauh tapi menggunakan pesawat, artinya Anda nyaman itu tidak boleh batal puasa,” jelas UAH.
Maka seseorang yang tetap menjalankan puasa akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yaitu pahala menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan serta menikmati kesabaran.
Sebaliknya, apabila seseorang membatalkan puasanya saat melakukan perjalanan mudik, maka wajib baginya untuk mengganti puasa tersebut di lain hari atau yang disebut Qadha.
Syarat Boleh Membatalkan Puasa Saat Mudik
Membatalkan puasa saat mudik atau safar tentu ada ketentuan. Berikut syarat seorang Muslim boleh membatalkan puasa selama mudik Lebaran.
Jarak Perjalanan yang Memungkinkan Keringanan
Mayoritas ulama menetapkan bahwa jarak yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa adalah sekitar 80-85 km. Jika seseorang melakukan perjalanan sejauh ini atau lebih, maka ia dikategorikan sebagai musafir dan diperbolehkan berbuka.
Tingkat Kesulitan dalam Perjalanan
Jika perjalanan mudik menyebabkan kesulitan atau membahayakan kesehatan, maka lebih baik mengambil keringanan dengan tidak berpuasa. Sebaliknya, jika perjalanan terasa ringan dan tidak mengganggu kondisi tubuh, maka melanjutkan puasa lebih utama.