- Tangkapan layar YouTube Adi Hidayat Official
Setelah Shalat Berjamaah, Apakah Boleh Makmum Doa Bersama Imam? Ternyata Ustaz Adi Hidayat Bilang Hukumnya...
tvOnenews.com - Rata-rata imam setiap baru menyelesaikan shalat berjamaah langsung mengisi amalan doa dan dzikir.
Tak sedikit dari makmum shalat berjamaah mengikuti proses pelaksanaan doa dan dzikir yang digetarkan oleh imam.
Ustaz Adi Hidayat telah mendengar banyak yang bertanya-tanya apakah makmum wajib mengikuti doa dan dzikir bersama imam setelah shalat berjamaah.
Mereka menganggap makmum tidak harus mengikuti imam yang mengisi doa dan dzikir seusai pelaksanaan shalat berjamaah. Ustaz Adi Hidayat meluruskan hal ini sekaligus membagikan hukumnya.
Apa hukum makmum mengamalkan doa dan dzikir bareng imam ketika shalat berjamaah baru selesai? Ustaz Adi Hidayat (UAH) menjelaskan seputar anjuran dari Nabi Muhammad SAW.
- iStockPhoto
Disadur tvOnenews.com dari channel YouTube Adi Hidayat Official, Senin (24/2/2025), UAH menguraikan secara detail mengenai mengapa setiap selesai shalat berjamaah selalu terdapat doa dan dzikir.
Doa dan dzikir setelah pelaksanaan shalat berjamaah sangat melekat di seluruh masjid yang tersebar di wilayah Indonesia.
Kebanyakan imam tidak langsung beranjak pergi ketika baru selesai memimpin shalat berjamaah. Rata-rata mereka menuntun jemaah untuk berdoa dan berdzikir bersama-sama.
Biasanya imam langsung menghadap ke para jemaah untuk memimpin sejumlah bacaan doa dan dzikir.
Hal ini mengingat adanya anjuran terkait persoalan dzikir dan doa yang digetarkan kepada Allah SWT.
UAH meluruskan kebingungan ini berdasarkan dari sejumlah redaksi hadis riwayat persoalan dzikir dan doa selepas shalat berjamaah, semisal terletak pada Imam Al Bukhari dan Imam Muslim.
"Tentang doa berjamaah, di antaranya bisa ditemukan di hadis riwayat Al Bukhari nomor hadis 805, 806, kemudian produk yang sama di hadis Muslim nomor hadis 583," ujar UAH.
Perihal keharusan dzikir dan doa setelah shalat, UAH membagikan kondisi ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali menyampaikan dakwahnya.
Direktur Quantum Akhyar Institute itu mengatakan suara keras selalu terdengar dari dalam masjid pada zaman awal dakwahnya Nabi Muhammad SAW.
"Di zaman Nabi SAW kata Ibnu Abbas, mengeraskan suara dalam berdoa atau berdzikir atau bertakbir itu ditemukan di awal-awal masa Nabi SAW," tutur dia.
Suara yang keras dari dalam masjid ini menjadi acuan penting terkait pemahaman apakah doa dan dzikir harus sendiri-sendiri atau berjamaah dengan imam.
"Jadi di awal-awal masa Nabi mengajarkan amalan-amalan pasca shalat, itu Nabi mengajarkan dengan cara yang dikeraskan," terangnya.
Tak sekadar suara keras saja, UAH menjelaskan melalui pemahaman ini menyebabkan umat Nabi SAW mulai memahami bacaan doa setelah shalat.
Tak sedikit dari mereka mengamalkan doa secara individu, walaupun sebelumnya amalan yang digetarkan berpacu melalui suara keras tersebut.
"Selepas itu, banyak orang sudah memahami bacaan hadisnya, banyak orang sudah mengetahui cara berdoa, banyak orang sudah paham bacaan-bacaan doa. Setelah itulah, kemudian ada orang baca doa sendiri," jelasnya.
Nabi Muhammad SAW bahkan pernah memberikan pujian kepada salah satu sahabatnya. Beliau mengapresiasi seorang sahabat karena menggetarkan lantunan doa yang menyejukkan hati.
Kendati demikian, ada juga beberapa umatnya mengeraskan suaranya ketika berdoa, sampai-sampai mengganggu orang lain berada di sekitarnya.
"Terjadilah peristiwa, ada orang berdoa, kencang doanya, Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah, sampai memberikan pengaruh kepada yang lain," imbuhnya.
"Sampai turun ayat di sini karena saking kencangnya, bisa mengganggu yang lain, bisa menyebabkan orang tidak khusyuk," sambungnya.
Pendakwah karismatik berbasis ayat suci Al Quran ini mengambil pemahaman dari kisah tersebut berdasarkan penjelasan Imam Syafi'i.
Ada waktu di mana seorang makmum harus mengikuti imam untuk berdoa bersama-sama, ada momen bagi mereka melantunkan doanya secara sendiri-sendiri.
"Maka menyimpulkan kalimat ini kata Imam Syafi'i, di awal-awal masa Nabi mengajarkan doa di awal shalat itu doa yang dikeraskan itu dengan tujuan untuk memberikan pengajaran, contoh kepada orang-orang yang belum tahu bagaimana caranya berdoa, belum paham kalimat apa yang dibacakan," paparnya.
Ketika seseorang belum mengetahui ilmunya, maka sebaiknya mengikuti anjurannya mengarah pada doa bersama dengan imam.
"Pada yang seperti ini sunnahnya dikeraskan karena dia belum paham, belum tahu bagaimana caranya berdoa," katanya.
Kebingungan ini mengingatkan jikalau mengacu pada proses belajar-mengajar. Seorang guru wajib mengeraskan suaranya saat menyampaikan ilmunya agar diserap oleh muridnya.
"Bagaimana Anda bisa mengajarkan orang-orang yang belum bisa berdoa dengan siir, mustahil, enggak akan terdengar," sebutnya.
Pengamalan doa secara individu akan mengacu pada penerapan sunnahnya. Terlebih lagi, waktu terbaik menyampaikan hajat yang diinginkan agar cepat tercapai atas izin dari Allah SWT.
"Kata Imam Syafi'i, lebih utama, disunnahkan doa masing-masing, dalam pribadinya karena dia menyampaikan hajatnya langsung terkait kebutuhannya, tanpa harus dikeraskan berlebihan jika sudah mengetahui doa-doanya," ucapnya.
Doa bersama-sama setelah shalat berjamaah hanya menjadi acuan proses pembelajaran betapa pentingnya berdoa kepada Allah SWT. UAH mengatakan pembimbingan pemahaman ilmu agama harus ditekankan dengan cara mengikuti imam.
"Tapi, kalau Anda belum paham ingin mengajarkan atau membimbing masyarakat yang belum mengerti, dengan itu maka akan lebih baik bila dijaharkan, supaya mereka bisa mengetahui dan mengikuti bimbingan doanya," tandasnya.
(far/hap)