- tim tvone - zainal ashari
Hikayat Sosok Sunan Ampel Bawa Islam dari Champa ke Tanah Jawa, Penyebar Islam Pertama di Jawa
Surabaya, tvOnenews.com – Kawasan Ampel Surabaya diyakini sebagai pusat Syiar masuknya agama Islam di nusantara. Peran wilayah Ampel yang dulu disebut dengan Ampel Denta ini tak lepas dari sosok Sunan Ampel.
Dikutip dari buku “Atlas Walisongo Agus Sunyoto 2016”, Sunan Ampel dikenal sebagai salah satu Wali Songo tertua yang dalam syiar Islam di Pulau Jawa. Perjalanan menyebarkan agama Islam dimulai Sunan Ampel dari wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Surabaya.
Dalam catatan Sedjarah Regent Soerabaja, Sunan Ampel bahkan disebut-sebut sebagai bupati pertama Surabaya.
Sunan Ampel lahir 1401 di Champa. Menurut Encyclopedia Van Nederlandesh Indie diketahui bahwa Champa adalah satu kerajaan Pryo Cham kuno yang terletak di Vietnam hingga Laos sekarang. Sunan Ampel adalah putra dari Syekh Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy dengan Dyah Candrawulan. Ibrahim As-Samarqandy merupakan putra Jamaluddin Akbar al-Husaini yang masih memiliki silsilah hingga ke Nabi Muhammad SAW.
Dalam pendapat lain, Sunan Ampel merupakan keponakan Dyah Dwarawati, istri Bhre Kertabhumi raja Majapahit. Dalam catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Tionghoa di Champa oleh Sam Po Bo.
Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Tionghoa di Tuban.
Setiba di Jawa lebih tepatnya di Surabaya utara, Sunan Ampel atau Raden Rahmat tidak hanya membawa ajaran Islam ke tengah masyarakat Majapahit yang sebagian besar memeluk Hindu, Budha dan Kapitayan. Sunan Ampel juga membawa kebudayaan Champa.
Sunan Ampel diketahui berasal dari keluarga terhormat di Kerajaan Champa diantara Kamboja dan Vietnam sekarang. Kedatangannya di Jawa beriringan dengan runtuhnya Champa akibat serangan Kerajaan Koci (Vietnam).
Sebagai pendatang dari Champa, Sunan Ampel tetap mempertahankan anasir Kapitayan di satu pihak, dan melakukan penetrasi sosio kultural religius secara kreatif terhadap masyarakat Hindu Budha Majapahit di sisi lain.
Sunan Ampel memasukkan tradisi keagamaan muslim Champa melalui pendekatan sufisme yang itu membuat ajaran Islam cepat diterima, sekaligus diserap masyarakat Jawa.
Untuk memuluskan sekaligus meluaskan ajaran Islam, Sunan Ampel membentuk keluarga-keluarga muslim dalam suatu jaringan kekerabatan yang menjadi cikal bakal dakwah Islam di berbagai daerah.
Terdapat sejumlah tradisi sosial di Jawa, khususnya Jawa Timur yang dipengaruhi Champa. Sebut saja soal panggilan orang tua perempuan. Orang-orang Champa memiliki kebiasaan memanggil ibu mereka dengan sebutan “mak”.
Panggilan “mak” atau “emak” itu kemudian dipakai masyarakat Surabaya dan sekitarnya, yakni mengganti sebutan “ina”, “ra ina”, atau “ibu” yang sebelumnya dipakai masyarakat Majapahit.
Panggilan “mak” juga berlaku di wilayah Mojokerto-Jombang hingga Kediri-Nganjuk yang kemungkinan disebarkan oleh Raden Abu Hurairah, sepupu Sunan Ampel yang bermukim di Mojoagung (Wirasaba).
Dalam perkembangannya, yakni dibawa oleh Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Raden Patah, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, panggilan “mak” meluas di sepanjang Pantai Utara Jawa hingga ke daerah Jawa Barat.
Hingga saat ini di daerah Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel, penduduk memanggil ibunya dengan sebutan “mak”, namun ada pula sebagian meyakini panggilan ini sama dengan orang Tionghoa yang memanggil nenek dari Ibu Mak Cow.
Begitu juga dalam menyebut orang-orang yang dianggap lebih tua. Orang-orang Champa biasa memakai sebutan “kak” atau “kang”, yakni sebagaimana kebiasaan yang dilakukan Sunan Ampel.
Sementara masyarakat Majapahit terbiasa menyebut orang yang lebih tua dengan sebutan “raka”.
Kemudian untuk memanggil orang yang lebih muda, Sunan Ampel terbiasa menyebut “adhy”. Panggilan “adhy” secara perlahan menggeser panggilan “rayi” yang biasa diucapkan masyarakat Majapahit.
“Orang-orang Champa menyebut anak laki-laki kecil dengan sebutan “kachoa” atau “kachong”, sedangkan orang Majapahit menyebut “rare”.
Kebudayaan Champa yang dibawa Sunan Ampel juga merambah ke wilayah kepercayaan terhadap alam gaib atau segala sesuatu yang bersifat tahayul atau mitos.
Semakin kuatnya ajaran Islam yang disebarkan oleh Sunan Ampel, hingga mengubah pola sudut pandang pemahaman gaib di masyarakat Hindu Budha saat itu.
Soal makhluk halus atau hantu, kepercayaan orang Hindhu Majapahit yang tetap bertahan dan diyakini masarakat Hindu Bali hingga saat ini mempercayai adanya makhluk-makhluk setengah dewa, yakni seperti yaksha, raksasa, gandarwa, butha, mahakala, hingga sang magawai kedhaton (arwah leluhur yang melindungi bumi dan keraton).
Namun di Jawa khususnya Jawa Timur yang perlahan sangat kuat memahami Islam yang disebarkan oleh Sunan Ampel, semua itu secara perlahan beralih ke berbagai jenis makhluk halus seperti jin makhluk gaib seperti manusia, kuntilanak (arwah wanita yang mati saat melahirkan), pocong arwah pemasangan, tuyul arwah anak kecil yang bisa dijadikan media pesugihan, kalap atau kerasukan makhluk gaib, siluman buaya, arwah penasaran dan hantu penunggu pohon yang semuanya sangat mirip dan menjadi tradisi kepercayaan orang-orang semenanjung Champa di Kamboja dan Vietnam hingga saat ini.
Tak hanya mengubah perspektif dalam keyakinan alam gaib, masuknya pengaruh Champa di Jawa juga perlahan mempengaruhi mitologi orang-orang di Ampel Denta saat itu yang sebagian menikah dan berkeluarga dengan para imigran Muslim Champa saat itu.
Orang Campa percaya terhadap hitungan suara tokek merupakan pesan dari alam gaib. Wanita Champa tabu mengambil padi di lumbung pada siang hari, menyebut harimau dengan sebutan “Yang” atau “Ong” yang bermakna kakek.
Fakta sejarah ini kemudian menunjuk bahwa kepercayaan Champa itulah yang kemudian menjadi arus utama dari sistem kepercayaan penduduk muslim Jawa pasca Majapahit terhadap tahayul.
Pada tahun 1479 Sunan Ampel mendirikan Masjid Agung Demak, dan yang menjadi penerus untuk melanjutkan perjuangan dakwah dia di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang dikenal dengan Sunan Demak. yang merupakan putra Sunan Ampel dari istri Dewi Karimah. Sehingga putra Raden Zainal Abidin yang terakhir tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang bernama Raden Zakaria (Pangeran Sotopuro).
Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 saka atau 1479 masehi di Kota Demak, namun dimakamkan di Surabaya di komplek Masjid Sunan Ampel, Surabaya. (zaz/hen)