- Jo Kenaru
Covid-19 Melandai, Warga Manggarai Berani Gelar Acara Budaya
Manggarai, NTT- Bunyi rancak gong dan gendang membahana di tengah-tengah halaman kampung Rentung. Puluhan pria bertelanjang dada sama-sama mengenakan celana putih dibalut sarung songket terikat sampai di lutut.
Kepala mereka dipasang pelindung dengan kain disampir sepanjang pundak. Sapu tangan putih yang dihias renda-renda diikat pada dua sisi giring-giring yang tergantung di pinggang. Para pria dewasa itu berjingkrak memutari arena.
Suara pada perisai menandakan para petarung segera menukar peran. Caci menyerang dengan cemeti (larik) sebagai senjata yang dibuat dari irisan kulit kerbau kering sementara lawannya menangkis dengan prisai bundar atau ngiiling yang juga terbuat dari kulit kerbau.
Terkena sabetan ujung cemeti yang pipih sudah pasti menimbulkan luka untuk para pecaci.
Seolah larut dalam sengitnya atraksi, penonton yang memadati arena seolah abai dengan prokes Covid-19. Para penonton berdiri berdesak-desakan. Sedikit sekali yang memakai masker.
Digelar saat PPKM
Pemerintah memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali mulai 21 September – 4 Oktober 2021.
Atraksi caci yang digelar di Rentung menimbulkan kerumunan dan berisiko menjadi klaster penularan Covid-19.
Selaku ketua panitia acara, Kanisius Mbombot menjelaskan, acara caci terpaksa dilaksanakan karena sudah ditetapkan dalam musyawarah bersama tokoh-tokoh kampung.
Dan keputusan yang diambil, lanjutnya, menyesuaikan kondisi kasus Covid-19 di Manggarai yang sudah menurun tajam.
“Ini terpaksa kami lakukan, tapi kami tidak mau abaikan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kami juga mengikuti perkembangan informasi kasus Covid-19 yang terus menurun sehingga kami tidak segan tidak ragu untuk melaksanakan acara ini,” ujar Kanisius ketika diwawancarai tvOnenews, Selasa (21/9).
Terpisah, Jubir Satgas Covid-19, Lodivikus Moa menegaskan, acara caci yang diadakan di Rentung Desa Belang Turi Kecamatan Ruteng itu tidak mendapat persetujuan dari Satgas Covid-19 Kabupaten Manggarai.
“Itu tidak disetujui oleh gugus tugas sebab Manggarai masih dalam PPKM level dua,” kata Lodi Moa.
Lodi berkata, tak hanya di Rentung, acara caci atau keramaian lain yang dilaksanakan di beberapa tempat di Manggarai selama masa PPKM berlangsung tanpa seizin gugus tugas.
Menurut Lodi Moa, angka penularan Covid-19 di Kabupaten Manggarai sudah turun jauh. Saat ini hanya 4 pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD dr Ben Mboi Ruteng. Level PPKM pun kata dia, sudah diturunkan ke level dua.
Caci, Perpaduan Seni Gerak dan Uji Ketangkasan
Caci merupakan laga adat, warisan budaya turun-temurun orang Manggarai. Biasa dihelat saat acara adat besar dan syukuran tertentu. Ornamen caci cukup banyak, masing-masing memiliki filosofi.
Serangan cemeti pada laga caci tidak seenaknya, mirip aturan tinju, yang melarang pecaci tidak boleh memukul pada bagian pinggang ke bawah.
Uniknya, pecaci yang selesai menerima serangan lawan harus memekikkan yel-yel atau paci karena caci dan paci bak dua sisi mata uang sebagai penunjuk identitas si pemain caci itu sendiri. Yel-yel atau paci boleh diteruskan dengan nyanyian.
Caci merupakan seni gerak dan uji ketangkasan. Jika lengah pecaci pasti menderita luka di badan juga di bagian wajah.
Mengajarkan nilai sportivitas dan fraternitas (persaudaraan), pagelaran caci tidak dikenal istilah menang atau kalah. Caci justru sebagai perekat relasi sosial.
Dalam Rangka Syukuran Kampung
Lebih lanjut Kanisius Mbombot menjelaskan, caci yang digelar selama dua hari yaitu 20-21 September 2021 merupakan rangkaian acara menuju puncak acara “Penti” yaitu acara syukuran kampung Rentung yang puncaknya dilaksanakan pada 23 September 2021.
Penti merupakan salah satu upacara adat bagi orang Manggarai, Flores NTT yang hingga kini masih dilestarikan. Penti adalah sebuah ritual adat yang memiliki makna yang luhur sebagai ucapan syukur kepada Tuhan YME dan leluhur atas hasil panen.
Menurut Kanisius, penti weki peso beo Rentung sudah diagendakan sejak tahun 2020. Pria 62 tahun itu mengatakan, acara penti di Rentung terakhir diadakan pada tahun 2012 lalu.
“Penti weki peso beo (syukuran) untuk kapu gauk saka gawas (kebaikan) leluhur pada beberapa tahun yang telah dilewati. Sejak tahun 2012 baru dibuatkan hal yang sama. Tujuannya agar masyarakat bolek loke baca tara, ita hang ciwal bae hang mane (sejahtera) wus rucuk kandos dango (tidak kesusahan),” terang Kanisius yang bertutur menggunakan Bahasa Manggarai.
Acara ini menurutnya sudah diagendakan sejak lama dan diputuskan oleh para tetua kampung dan para kepala suku di kampung Rentung.
“Penti diawali dengan sanda mbata atau nyanyian adat, dilanjutkan dengan pantek (acara pembuka),” imbuh dia.
Selain beragam ritual adat menuju acara puncak penti, diselingi dengan keramaian rakyat berupa pentas caci. Sebelum acara puncak masih ada sederetan ritual mata air, sawah dan ladang ditutup dengan doa ada yang didaraskan di atas batu mesbah.
“Karena filosofi kehidupan sebuah kampung itu terdiri gendang one lingkon peang berpusat di rumah adat dan berakhir di kebun, compang bate dari (tempat berjemur), natas bate labar (halaman tempat bermain) wae bate teku (tempat timba), uma bate duat (kebun),” Kanisius menjelaskan.
Acara penti berpuncak pada penyembelihan hewan kurban dan pemberian sesajen di dalam rumah adat yang biasa disebut takung mangko mese dan takung langkar. Penti biasa ditutup dengan ritual congka nggolong. (Jo Kenaru/act)