- Istimewa
Hotman Paris Pertanyakan Klaim NCD, Ahli Tegaskan CMNP Tak Berhak Tagih Kerugian Usai Terima Restitusi Pajak
Jakarta, tvOnenews.com - Ahli Akuntan dan Pajak Dadang Suwarna menegaskan bahwa PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) tidak memiliki dasar hukum untuk menagih kerugian akibat transaksi Negotiable Certificate of Deposit (NCD) kepada pihak ketiga.
Menurutnya, hak penagihan tersebut gugur setelah perusahaan memperoleh pengembalian pajak dari negara.
Hal itu disampaikan dalam sidang gugatan perdata antara CMNP dengan PT MNC Asia Holding yang berlanjut, pada Rabu (17/12/2025).
Ia menjelaskan, restitusi pajak yang telah diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berarti negara telah mengambil alih beban kerugian yang sebelumnya diklaim perusahaan.
Dalam kondisi ini, kerugian tersebut secara akuntansi dan perpajakan tidak lagi menjadi tanggungan CMNP. Penjelasan itu disampaikan Dadang yang juga mantan Direktur DJP saat menjawab pertanyaan Kuasa Hukum MNC Asia Holding, Hotman Paris Hutapea, dalam proses pemeriksaan perkara terkait transaksi NCD.
Hotman awalnya mengungkapkan bahwa dalam surat permohonan restitusi yang diajukan CMNP telah menyatakan tagihan NCD tak bisa lagi ditagihkan kepada pihak manapun.
"Di dalam surat permohonan restitusi pajak (CMNP), sudah memuat pernyataan tertulis yang ditandatangani direksi dan mengatakan bahwa tagihan ini tidak bisa ditagihkan ke pihak manapun. Bagaimana kalau akhirnya ditagihkan ke pihak lain?" tanya Hotman, dikutip Sabtiu (20/12/2025).
Menanggapi hal tersebut, Dadang menyatakan bahwa penagihan kembali atas kerugian yang sudah direstitusi berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana perpajakan.
Ia menilai tindakan tersebut bertentangan dengan pernyataan resmi perusahaan yang telah disampaikan kepada otoritas pajak.
Dadang menegaskan bahwa setelah restitusi diberikan, kerugian yang diklaim perusahaan secara otomatis telah menjadi beban negara. Dengan demikian, CMNP tidak lagi memiliki dasar untuk mengklaim kerugian tersebut kepada pihak lain.
"Kalau kejadian itu adalah tindak pidana perpajakan, karena dia sudah melaporkan, dia sudah mengirim surat ke Ditjen Pajak bahwa ini sudah tidak bisa lagi untuk ditagihkan, sehingga dibiayakan, berarti negara sudah menanggung atas kerugian tadi dalam SPT kerugian pajaknya," jawab Dadang.
Ia menambahkan, jika perusahaan yang telah menerima restitusi tetap melakukan penagihan, maka hal itu mencerminkan ketidakkonsistenan terhadap laporan keuangan yang telah disampaikan sebelumnya. Kondisi tersebut dinilai dapat merusak integritas laporan keuangan perusahaan.
Padahal, Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan dan verifikasi menyeluruh terhadap laporan keuangan sebelum memutuskan pemberian restitusi. Proses ini dilakukan untuk memastikan kebenaran klaim yang diajukan wajib pajak.
"Maka seandainya di kemudian (hari) oleh perusahaan menyebutkan bahwa ini bisa ditagih lagi, maka laporan keuangan yang sudah disampaikan sejak 1999 – 2014 berdirinya, atau sejak kasus itu berdiri sampai berakhirnya, maka laporan keuangan yang disampaikan baik itu ke OJK, ke publik, atau Kantor Pajak menjadi misleading, menyesatkan," tutur dia.
Atas kondisi tersebut, Dadang menilai perusahaan berpotensi dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Risiko hukum muncul karena adanya dugaan pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) yang tidak sesuai fakta.
Ia merujuk pada Pasal 39 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur sanksi atas pelanggaran tersebut.
"Sehingga pelanggar pasal 39 di situ ada sanksinya berkaitan dengan mengisi SPT yang benar-benar, maka wajib pajak harus menghitung berapa pajaknya dan berapa sanksinya, denda maksimal 400 persen," tandas dia.
Sebagai latar belakang, Hotman Paris Hutapea mengungkapkan bahwa CMNP sebelumnya mengakui transaksi jual beli NCD yang diterima dari Drosophila Enterprise Pte. Ltd dalam laporan keuangannya. Transaksi tersebut dicatat sebagai jual beli sejak periode 1999 hingga 2014.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, CMNP justru mengubah sikap dengan tidak lagi mengakui transaksi jual beli NCD tersebut.
Perubahan ini terjadi meskipun perusahaan telah menerima pengembalian dana berupa restitusi pajak dari Direktorat Jenderal Pajak.
Situasi tersebut menimbulkan pertanyaan hukum dan akuntansi terkait konsistensi pelaporan keuangan, sekaligus membuka potensi risiko pidana perpajakan apabila penagihan kerugian kembali dilakukan setelah restitusi diterima. (rpi)