- Antara
APNI Pasang Badan untuk PT Gag Nikel: Sudah Taat Aturan dan Ramah Lingkungan
Jakarta, tvOnenews.com – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menegaskan bahwa PT Gag Nikel telah memenuhi seluruh syarat legal dan teknis sebagai perusahaan tambang yang ramah lingkungan dan beroperasi jauh dari kawasan konservasi di Pulau Gag, Raja Ampat.
Penegasan itu disampaikan Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyusul maraknya tuduhan kerusakan alam akibat tambang nikel di media sosial.
“Kami sudah verifikasi. PT Gag jauh dari kawasan konservasi dan sudah menjalankan kaidah-kaidah pertambangan sesuai regulasi,” tegas Meidy, saat dihubungi media, Selasa (10/6/2025).
Meidy menyebut PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha BUMN Antam merupakan anggota resmi APNI dan telah mengantongi pengakuan seperti Good Mining Practice serta penghargaan Proper dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia menyayangkan adanya informasi menyesatkan yang beredar, termasuk video dan foto yang diduga manipulatif.
“Sekarang ini sulit membedakan mana yang asli, mana yang manipulasi. Faktanya, tidak seperti yang digambarkan di media sosial,” ujarnya.
Tak hanya itu, Meidy menyinggung insiden aktivis lingkungan yang berteriak dalam forum konferensi internasional menuding adanya kerusakan lingkungan di Papua. Setelah ditelusuri, kata Meidy, orang tersebut ternyata bukan berasal dari Papua.
“Yang berteriak itu ternyata orang Sumatera Utara. Ini bentuk pembelokan isu,” katanya.
Terkait pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) terhadap empat perusahaan tambang oleh Kementerian ESDM, Meidy menegaskan bahwa tidak satu pun dari perusahaan tersebut merupakan anggota APNI.
“Yang empat itu memang bukan anggota kami. Kami masih cek kelengkapan dokumen-dokumennya. Tapi yang pasti, PT Gag bukan bagian dari mereka dan sudah terverifikasi sejak lama sebagai anggota kami,” jelas Meidy.
Ia memandang pencabutan IUP oleh pemerintah sebagai momentum untuk memperbaiki koordinasi antar instansi. Menurutnya, banyak perusahaan tambang sudah mengantongi IUP dari Kementerian ESDM, tetapi terhambat oleh terbatasnya kuota Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan.
“Kadang provinsi dan pusat juga tidak nyambung. Akhirnya pengusaha dirugikan, negara pun bisa kehilangan potensi pendapatan,” ucapnya.
APNI pun berharap pemerintah menciptakan ekosistem regulasi yang sinkron antar lembaga, demi menjamin kepastian berusaha tanpa mengabaikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.