- antara
Menggali Sejarah Kasino di Indonesia: Antara Pendapatan Negara dan Moral Publik
Jakarta, tvOnenews.com - Pernyataan mengejutkan datang dari anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Galih Kartasasmita, yang menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan sektor-sektor nonkonvensional untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satunya adalah lewat pengoperasian kasino legal.
Menurut Galih, Indonesia selama ini terlalu bergantung pada sumber daya alam (SDA). Ia mencontohkan bagaimana Uni Emirat Arab mulai meninggalkan ketergantungan pada minyak dan mencari sumber penerimaan baru pascakrisis minyak.
"Kita terlalu lama bergantung pada SDA. Negara lain seperti UEA sudah mulai beralih. Mengapa kita tidak coba membuka ruang seperti kasino legal yang bisa diatur dan diawasi?" – Galih Kartasasmita
Usulan ini langsung memicu perdebatan publik dan elite, terutama karena isu perjudian kerap dianggap bertentangan dengan nilai sosial dan agama di Indonesia.
Kilas Balik: Sejarah Kasino di Indonesia
Era Ali Sadikin: Ketika Jakarta Punya Kasino Resmi
Pada masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966–1977), perjudian dilegalkan sebagai strategi untuk membiayai pembangunan ibu kota. Ia berpendapat bahwa perjudian tidak bisa diberantas sepenuhnya, sehingga lebih baik dilegalkan dan dikontrol.
"Perjudian tidak bisa dihapuskan. Lebih baik diatur dan hasilnya digunakan untuk pembangunan kota." – Ali Sadikin
Lokasi Kasino Legal Saat Itu:
-
Lantai 13 Gedung Sarinah, Jakarta Pusat
-
Copacabana di Ancol
-
Petak Sembilan (PIX) di Glodok
-
Djakarta Theatre
-
Kompleks Proyek Senen
Kasino-kasino ini ditujukan khusus untuk warga negara asing dan non-Muslim. Pendapatan dari perjudian digunakan untuk membiayai berbagai infrastruktur, termasuk pembangunan Taman Ismail Marzuki.
Usulan Pembangunan Kasino di Bali: Ditolak Pemerintah Daerah
Wacana serupa sempat mencuat pada tahun 2024, saat muncul ide membuka kasino di kawasan Karangasem dan Buleleng, Bali. Namun, Pemerintah Provinsi Bali menolak tegas dengan alasan:
-
Bertentangan dengan nilai pariwisata berbasis budaya
-
Melanggar undang-undang yang melarang perjudian
-
Dikhawatirkan merusak citra dan struktur sosial masyarakat Bali
“Pembangunan kasino tidak sesuai dengan karakter Bali dan peraturan yang berlaku,” – Tjokorda Bagus Pemayun, Kepala Dinas Pariwisata Bali dikutip pada hari Rabu (14/5/2025).
Penolakan MUI: Perjudian Tetap Haram
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap menolak keras wacana legalisasi kasino. Mereka menilai:
-
Perjudian bertentangan dengan ajaran Islam
-
Berisiko merusak moral dan tatanan sosial masyarakat
-
Tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa
Di DPR Sendiri: Tak Semua Setuju
Meskipun datang dari parlemen, usulan ini tidak mendapat dukungan bulat. Sejumlah anggota DPR menentang legalisasi kasino karena:
-
Potensi meningkatnya perilaku menyimpang dan penyalahgunaan kekuasaan
-
Risiko korupsi, gaya hidup konsumtif, dan konflik kepentingan
Susi Pudjiastuti: Kasino Lebih Terukur dari Judol dan Pinjol
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, memberikan dukungannya terhadap wacana ini. Ia menilai bahwa kasino memiliki risiko yang lebih terukur dibandingkan judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol).
“Kasino jauh lebih terukur damage-nya. Judol & Pinjol harus dihentikan.” – Susi Pudjiastuti
Pernyataan Susi di akun media sosialnya langsung menuai respons warganet. Sebagian menyatakan dukungan asal diawasi ketat, sebagian lainnya khawatir akan efek domino pada pejabat dan gaya hidup masyarakat.
Wacana Lama dengan Tantangan Baru
Legalitas kasino bukan wacana baru di Indonesia. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pendekatan pragmatis pernah berhasil digunakan untuk pembangunan. Namun, konteks hari ini berbeda. Nilai agama, sosial, dan regulasi menjadi tantangan besar.
Pemerintah kini berada di persimpangan. Apakah akan membuka pintu legalisasi kasino dengan regulasi ketat, atau tetap menutup rapat ruang tersebut demi menjaga nilai dan norma bangsa?
Diskusi masih terus berkembang. Satu hal yang pasti, ini bukan sekadar soal pajak, tapi soal arah moral dan identitas nasional. (nsp)