- Antara
AS Tunda Penerapan Tarif Ekspor Tekstil RI Selama 90 Hari: Kemendag Siapkan Diplomasi Dagang
Jakarta, tvOnenews.com — Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan penundaan selama 90 hari terhadap penerapan tarif baru untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT) asal Indonesia.
Penundaan ini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat jalur diplomasi dan mencari solusi terbaik bagi sektor ekspor TPT nasional.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Djatmiko Bris Witjaksono, menjelaskan bahwa tarif yang sebelumnya direncanakan akan dikenakan terhadap TPT Indonesia belum diberlakukan.
"Penundaan selama 90 hari ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengajukan keberatan dan menjalin komunikasi lebih lanjut dengan pemerintah AS," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Kemendag Manfaatkan Waktu untuk Diplomasi Aktif
Djatmiko menegaskan, pemerintah akan memanfaatkan masa tenggang ini untuk melakukan pendekatan intensif guna melindungi industri TPT dalam negeri. Ia mengingatkan bahwa informasi mengenai tarif hingga 47 persen yang sempat beredar adalah keliru.
"Diluruskan, yang menulisnya 47%, jangan ditulis seperti itu, karena yang benar adalah, misalnya, tekstil 15% -30%. Jadi kita harus pas," tegasnya.
Struktur Tarif dan Simulasi Kebijakan AS
Djatmiko juga menjelaskan bahwa kebijakan tarif ekspor AS terhadap negara mitra, termasuk Indonesia, terdiri dari tiga jenis utama:
-
Tarif dasar baru (new baseline tariffs)
-
Tarif resiprokal (reciprocal tariffs)
-
Tarif sektoral (sectoral tariffs)
Tarif resiprokal sebesar 32 persen yang diarahkan untuk Indonesia masuk dalam daftar penundaan, sehingga belum berdampak langsung terhadap pelaku usaha.
Industri Tekstil Diharapkan Tetap Tenang
Dengan adanya penundaan ini, Kemendag mengimbau agar pelaku industri tetap tenang dan tidak terjebak dalam kepanikan informasi. Langkah-langkah strategis tengah disiapkan agar posisi Indonesia dalam perdagangan internasional tetap kompetitif.
"Kami sedang menghitung ulang dampaknya dan menyiapkan respons berbasis data. Ini bukan keputusan final, jadi masih sangat terbuka untuk upaya negosiasi," tambah Djatmiko. (nsp)