- tvOne
Parah! Angka PHK Indonesia Ternyata Tiga Kali Lipat dari Data Pemerintah, Cari Kerja Makin Susah: Harus Good Looking dan Syarat Agama?
Jakarta, tvOnenews.com - Kondisi manufaktur di Indonesia yang belakangan ini mengalami penurunan yang signifikan, membawa dampak buruk berupa gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang semakin meluas.
Aktivis Buruh Mirah Sumirat mengungkapkan, gelombang PHK yang sudah mulai terjadi sejak akhir 2019 diperparah dengan situasi semakin memburuk akibat berbagai faktor eksternal dan internal.
Hal itu sebagaimana disampaikan dalam Indonesia Business Forum tvOne yang bertajuk 'Ekonomi Melemah, Daya Beli Semakin Payah'.
"Di akhir 2019, PHK sudah mulai terjadi. Banyak faktor yang menyebabkan ini, mulai dari kerugian perusahaan hingga Covid-19 di tahun 2020. Munculnya Undang-Undang Cipta Kerja membuat situasi semakin tidak terkendali dan banyak sekali kawan-kawan yang kesulitan mencari pekerjaan," ujar Mirah, dikutip Kamis (8/8/2024).
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) itu mengatakan, kondisi tersebut diperparah dengan sulitnya lapangan pekerjaan yang tersedia.
Ia pun menyoroti berbagai persyaratan yang tidak relevan dalam banyak tawaran pekerjaan.
"Ada persyaratan-persyaratan aneh seperti batas usia dan penampilan fisik yang membuat pencarian pekerjaan menjadi lebih sulit. Bahkan, ada syarat agama yang menambah kesulitan bagi pencari kerja," tambahnya.
Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, hingga pertengahan tahun 2024, tercatat sebanyak 32.064 pekerja terkena PHK. Angka naik naik 21,4% dari periode yang sama tahun 2023 yang sebanyak 26.400 orang.
Namun, data dari pihak buruh menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi tiga kali lipat, mencapai sekitar 80.000 orang lebih.
Ketidaksesuaian data ini disebabkan karena banyak perusahaan yang tidak melaporkan kondisi sebenarnya kepada pemerintah.
"Pemerintah, melalui Kementerian Tenaga Kerja, mendapatkan datanya dari BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, banyak pengusaha yang tidak melaporkan perjanjian PHK ke dinas terkait, dan ada banyak perusahaan yang tidak terdaftar di BPS Ketenagakerjaan. Jadi saat data pemerintah menunjukkan 26.000, sementara data kami sekitar 80.000 dan itu valid," tegas Mirah.
Permendag No. 8 Tahun 2024 Semakin Memperburuk Keadaan Ekonomi?
Selain masalah internal, kebijakan pemerintah juga dirasa semakin memperburuk kondisi industri manufaktur.
Mirah menyoroti Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024. Kebijakan yang membuka keran impor secara bebas ini berdampak besar pada sektor tekstil dalam negeri.