Kasus HIV di Jawa Barat Meningkat 100% dalam Lima Tahun
Bandung, tvOnenews.com - Angka HIV AIDS di Jawa Barat mencapai 100% dalam 5 tahun terakhir. Tercatat lebih dari 10.000 kasus yang terjadi pada tahun 2024.
Mirisnya hubungan seksual yang menjadi faktor penyebab naiknya HIV di Jawa Barat juga menjamur di kalangan remaja berusia 15 hingga 19 tahun.
Komisi Penanggulangan AIDS KPA Provinsi Jawa Barat mengungkap kenaikan angka dari HIV/AIDS di Jawa Barat yang naik dua kali lipat atau 100 persen dalam 5 tahun terakhir.
Ada lebih dari 10 kasus, 10.000 kasus dalam tahun 2024. Ini menunjukkan kenaikan 5 tahun sebelumnya atau tahun 2020 yang mencatat hanya sekitar 5.000 kasus.
Hubungan seksual berisiko disinyalir menjadi faktor penyebab utama naiknya angka HIV di Provinsi Jawa Barat.
Ini juga terjadi di kalangan remaja berusia 15 hingga 19 tahun.
Menurut survei KPA tahun 2022, rata-rata siswa SMA mengaku pertama kali melakukan hubungan seksual pada usia 13 hingga 14 tahun.
Dari 10.000 kasus pada 2024 tercatat 2.900 di antaranya merupakan anak-anak dan remaja yang menderita HIV/AIDS.
Lebih mengejutkan lagi, sebagian dari mereka tidak hanya berhubungan seksual dengan satu orang yang akhirnya membuat risiko penyebaran dan penularan HIV semakin besar.
Menurut Lanri Kusmono, Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Barat, angka ini di satu sisi mengkhawatirkan, namun di sisi lain mencerminkan peningkatan upaya pemeriksaan bagi kelompok berisiko.
Lonjakan tersebut, kata Lanri, tak lepas dari bertambahnya jumlah fasilitas layanan tes HIV.
“Kita punya lebih dari 1.300 puskesmas, rumah sakit, dan klinik di seluruh Jawa Barat yang bisa melakukan tes HIV. Tahun 2024, jumlah tes yang dilakukan mencapai lebih dari 1,1 juta kali di semua kelompok usia dan gender,” ungkapannya.
Hasilnya, ditemukan rata-rata 25 kasus baru setiap hari di provinsi ini.
Dari total 36.000 orang yang mengetahui status positif HIV mereka di Jawa Barat, hanya 24.000 yang tercatat menjalani pengobatan antiretroviral (ARV) hingga akhir 2024.
Sisanya, sekitar 14.000 orang, belum pernah atau sudah berhenti berobat.
Lanri menjelaskan, kendala ini bukan pada ketersediaan obat.
“Obat ARV disediakan gratis oleh pemerintah. Tapi ada ketakutan untuk memulai terapi seumur hidup. Stigma negatif terhadap ODHA, jarak ke fasilitas layanan yang terbatas, serta biaya administrasi untuk tes pendukung yang kadang mencapai Rp75 ribu hingga Rp150 ribu di rumah sakit,” jelasnya.
Hingga Desember 2024, baru terdapat sekitar 400 titik layanan pengobatan HIV di Jawa Barat, jumlah yang masih jauh tertinggal dibanding provinsi lain seperti Jawa Tengah yang sudah memiliki lebih dari 700 layanan.
Data menunjukkan kelompok usia 14–19 tahun, yang sebagian besar masih berstatus pelajar, juga terdampak.
Namun, pendampingan pada kelompok ini dinilai masih minim.
“Untuk remaja di bawah 18 tahun, mengajak tes HIV saja harus dengan izin orang tua atau wali. Informasi di sekolah pun harus disampaikan hati-hati,” ujar Lanri.
KPAI Jawa Barat mendorong penerapan kolaborasi pentahelix, melibatkan pemerintah, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, komunitas, dan media, dalam pencegahan HIV.
Harapannya, seluruh pihak dapat berperan aktif agar angka penularan dapat ditekan dan pasien mendapatkan akses pengobatan yang konsisten.