- AFC
Omongan Media Jepang Terbukti, Sebelum Dibantai 0-6, Timnas Indonesia Sudah Disebut Tak Selevel dengan...
tvOnenews.com - Timnas Indonesia baru saja menelan kekalahan telak 0-6 dari Jepang dalam laga putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 pada 10 Juni 2025.
Kekalahan ini tak hanya mengecewakan publik tanah air, tetapi juga seolah mengonfirmasi kritik pedas yang sebelumnya telah dilontarkan media sepak bola asal Jepang, Soccer Digest Web.
Bahkan sebelum bola digulirkan, media tersebut telah secara blak-blakan menilai bahwa Indonesia, bersama China, belum berada di level yang sama dengan tim-tim papan atas Asia seperti Jepang.
Kritik itu bukan tanpa dasar. Soccer Digest Web menyoroti strategi yang diambil Indonesia dalam membangun skuadnya, yang dianggap terlalu bertumpu pada pemain-pemain naturalisasi, terutama mereka yang berkiprah di Eropa.
"Selama Indonesia dan China masih mengandalkan pemain naturalisasi, kecil kemungkinan mereka akan menjadi ancaman sebagai rival,” tulis media tersebut dalam laporan tajamnya.
Kritik ini terbukti bukan sekadar retorika. Di lapangan, skuad Indonesia yang diisi nama-nama diaspora seperti Jay Idzes, Thom Haye, Justin Hubner, hingga Ole Romeny terlihat kewalahan menghadapi tekanan intens Samurai Biru.
Jepang bermain dengan struktur dan kedalaman permainan yang jelas lebih matang, hasil dari pembinaan jangka panjang dan investasi serius pada pengembangan pemain muda lokal.
Sebagai perbandingan, Jepang sudah sejak awal 2000-an meninggalkan pendekatan “instan” seperti naturalisasi.
- tvOnenews.com - Taufik Hidayat
Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) memilih jalan panjang: membangun dari bawah.
Kini, hasilnya terlihat nyata, puluhan pemain Jepang tampil reguler di liga-liga top Eropa, dan timnas mereka menjadi salah satu kekuatan paling konsisten di Asia.
“Bahkan jika ada pemain yang datang ke Jepang dan ingin dinaturalisasi, aturan ketat FIFA menghalangi mereka untuk bergabung dengan tim nasional Jepang,” tulis Soccer Digest Web.
Sebaliknya, Indonesia masih menaruh harapan besar pada pemain diaspora, utamanya dari Belanda.
Walaupun membawa kualitas individu yang lebih tinggi dibanding pemain lokal, pendekatan ini dipandang belum cukup untuk menyatukan tim secara kolektif dan mencapai level permainan yang setara dengan tim-tim elite Asia.