- Antara
Konflik Rusia Vs Ukraina dan Nasib Pahit di Persimpangan Jalan
Penulis: Jeremy Lawrence Simanjuntak, Mahasiswa Program Sarjana Departemen Ilmu Politik, FISIP-Universitas Indonesia.
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Jakarta, tvOnenews.com - Tahun 2025 menjadi titik balik yang suram bagi Ukraina. Pasalnya, tiga tahun setelah invasi skala penuh Rusia, narasi kepahlawanan "Daud melawan Goliat" yang sempat membakar semangat Barat kini perlahan meredup, digantikan oleh kalkulasi dingin realpolitik.
Di garis depan, parit-parit pertahanan tidak lagi menjadi saksi serangan balik yang heroik, melainkan kuburan massal bagi ambisi reconquista (pengambilalihan kembali) wilayah.
Kenyataan di lapangan semakin tak terbantahkan; Ukraina berada di bawah tekanan eksistensial yang memaksanya menelan pil pahit, yaitu terkait dengan adanya potensi penyerahan sebagian wilayahnya ke pihak Rusia demi menjadi keberlangsungannya sebagai negara secara eksistensial.
Perspektif Geopolitik: Retaknya "Benteng Barat" dan Kelelahan Aliansi
Di awal konflik, Barat bersatu di bawah premis bahwa "Ukraina harus menang" demi menjaga tatanan dunia berbasis aturan (rules-based order). Namun, dinamika 2024-2025 menunjukkan bahwa persatuan ini memiliki batas kedaluwarsa.
Hantu "Ukraine Fatigue" dan Faktor Elektoral
Tekanan terbesar bagi Kyiv tidak datang dari Moskow, melainkan dari Washington dan Brussels. Fenomena Ukraine Fatigue (kelelahan terhadap isu Ukraina) telah bermetamorfosis dari sekadar wacana publik menjadi kebijakan negara.
Di Amerika Serikat, polarisasi politik domestik telah menyandera bantuan militer. Survei Gallup terbaru pada 2025 menunjukkan angka yang mengejutkan; persetujuan rakyat Ukraina terhadap kepemimpinan AS anjlok drastis menjadi hanya 16%, sebuah indikator betapa rakyat Ukraina merasa ditinggalkan oleh sekutu utamanya.
Narasi di koridor kekuasaan Barat telah bergeser dari "mendukung Ukraina selama yang dibutuhkan" (as long as it takes) menjadi "mendukung selama kami mampu" (as long as we can).
Pergantian kepemimpinan dan naiknya sentimen isolasionisme di AS memaksa Eropa untuk berpikir realistis: mereka tidak memiliki kapasitas industri militer untuk menopang perang intensitas tinggi sendirian tanpa payung logistik Amerika.
Rusia dan Konsolidasi "Global South"
Sebaliknya, Rusia di bawah Vladimir Putin berhasil memainkan kartu geopolitiknya dengan cerdik. Alih-alih terisolasi total, Moskow berhasil membangun lifeline ekonomi dan diplomatik melalui BRICS+ dan kemitraan strategis dengan "Global South" (Selatan Global).
Dengan menarasikan perang ini sebagai perlawanan terhadap hegemoni Barat, Rusia mengamankan dukungan, atau setidaknya netralitas, dari kekuatan besar seperti India, Tiongkok, dan Brasil.
Secara geopolitik, Rusia telah berhasil mengubah status wilayah pendudukan (Donbas, Zaporizhzhia, Kherson) menjadi fait accompli (fakta yang tak terelakkan).
Bagi Kremlin, wilayah ini bukan sekadar tanah, melainkan zona penyangga (buffer zone) vital untuk menjauhkan infrastruktur NATO dari perbatasan intinya.
Perspektif Strategi Keamanan: Kegagalan Perang Atrisi dan Jebakan Teknologi
Jika geopolitik adalah tentang niat, strategi keamanan adalah tentang kapabilitas. Di sinilah Ukraina menghadapi dinding tebal yang sulit ditembus.
Kegagalan Doktrin Serangan Balik
Harapan bahwa senjata canggih Barat (seperti tank Leopard atau jet F-16) akan menjadi "peluru perak" yang mengubah jalannya perang telah pupus. Perang di Ukraina telah membuktikan dominasi pertahanan atas penyerangan.
Garis Surovikin, jaringan parit, ladang ranjau, dan benteng pertahanan Rusia, terbukti hampir mustahil ditembus tanpa keunggulan udara total, sesuatu yang tidak pernah dimiliki Ukraina.
Revolusi Drone dan Transparansi Medan Perang
Kita menyaksikan era baru peperangan di mana "kejutan taktis" menjadi mustahil. Dengan langit yang dipenuhi drone pengintai, setiap konsentrasi pasukan Ukraina yang mencoba berkumpul untuk serangan langsung terdeteksi dan dihancurkan oleh artileri Rusia dalam hitungan menit.
Hal ini memaksa perang kembali ke bentuk paling purba dan brutal: perang atrisi (pengurasan tenaga).
Dalam matematika perang atrisi, negara dengan populasi lebih besar (Rusia, sekitar 140 juta jiwa) dan kedalaman strategis lebih luas hampir selalu menang melawan negara yang lebih kecil (Ukraina, sekitar 30 juta tersisa).
Rusia mampu menukar "darah dengan tanah" pada rasio yang tidak mampu ditanggung oleh demografi Ukraina yang menyusut.
Opsi Nuklir dan Batas Eskalasi
Strategi keamanan Barat juga terbelenggu oleh ketakutan akan eskalasi nuklir. Doktrin keamanan Rusia secara eksplisit mengizinkan penggunaan senjata nuklir taktis jika integritas teritorialnya (yang kini mencakup wilayah yang dianeksasi) terancam.
Hal ini menciptakan batas tak terlihat bagi bantuan Barat, memberi Ukraina cukup senjata untuk bertahan, tapi tidak cukup untuk menang telak, karena kemenangan telak Ukraina dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi rezim Putin yang bisa memicu kiamat nuklir.
Perspektif Ekonomi Politik: Kehancuran Basis Material dan Ongkos Kedaulatan
Perang modern tidak hanya dimenangkan oleh keberanian prajurit, tetapi oleh ketahanan ekonomi. Di sektor ini, kesenjangan antara Rusia dan Ukraina semakin melebar, menciptakan tekanan tak tertahankan bagi Kyiv untuk mencari jalan keluar.
Ekonomi Ukraina: Negara dalam Inkubator
Secara fungsional, ekonomi Ukraina telah lumpuh. Dengan hilangnya wilayah industri Donbas (yang dulunya menyumbang porsi besar PDB) dan blokade parsial di Laut Hitam, Ukraina kehilangan kemampuan untuk membiayai dirinya sendiri.
Defisit Anggaran Kronis
Hampir seluruh gaji pegawai negeri, guru, dan dokter di Ukraina kini dibayar oleh bantuan dana asing (UE dan AS). Jika keran ini ditutup, negara akan bangkrut dalam hitungan minggu.
Krisis Energi
Serangan sistematis Rusia terhadap infrastruktur energi telah menghancurkan lebih dari 60% kapasitas produksi listrik dan gas Ukraina. Ini bukan hanya soal lampu padam; ini berarti industri tidak bisa beroperasi, dan biaya rekonstruksi membengkak ke angka ratusan miliar dolar yang entah siapa yang akan membayarnya.
Demografi yang Hilang
Lebih dari 9 juta warga Ukraina mengungsi, dan banyak dari mereka adalah tenaga kerja produktif yang mungkin tidak akan pernah kembali. Kehilangan sumber daya manusia ini adalah pukulan ekonomi jangka panjang yang lebih mematikan daripada kehilangan wilayah.
Paradoks Ekonomi Perang Rusia
Di sisi lain, Rusia menunjukkan resiliensi yang mengejutkan. Sanksi Barat gagal meruntuhkan ekonominya. Moskow menerapkan "Keynesianisme Militer", di mana pengeluaran negara besar-besaran untuk pabrik senjata justru memacu pertumbuhan PDB dan menekan pengangguran.
Meski menghadapi risiko inflasi dan resesi jangka panjang di tahun 2025, dalam jangka pendek, Rusia memiliki cukup uang (dari penjualan minyak ke Asia) untuk membiayai perang selama beberapa tahun lagi.
Asimetri ketahanan ekonomi ini memaksa Ukraina untuk menyadari bahwa waktu tidak berpihak pada mereka.
Menuju "Skenario Korea": Tanah Ditukar Keamanan?
Berdasarkan ketiga perspektif di atas, narasi "kemenangan total" (mengembalikan perbatasan 1991) kini dipandang oleh banyak analis sebagai utopia. Tekanan geopolitik, kebuntuan militer, dan kehancuran ekonomi mendorong Ukraina ke satu arah: Negosiasi.
Wacana yang berkembang di koridor diplomasi, termasuk dalam proposal perdamaian yang didorong oleh faksi tertentu di AS adalah model "Land for Security" atau sering disebut "Skenario Korea".
Dalam skenario ini, terdapat beberapa opsi, antara lain Gencatan Senjata: Garis depan saat ini akan membeku menjadi perbatasan de facto baru, mirip dengan Demilitarized Zone (DMZ) di Semenanjung Korea.
Penyerahan Wilayah: Ukraina secara praktis (meski mungkin tidak secara hukum/di jure) harus merelakan Krimea dan Donbas tetap di bawah kendali Rusia.
Jaminan Keamanan: Sebagai gantinya, sisa wilayah Ukraina (yang "bebas") akan mendapatkan jaminan keamanan yang "kebal besi" dari Barat, dan potensi percepatan keanggotaan Uni Eropa, untuk mencegah agresi Rusia di masa depan.
Ini adalah pil yang sangat pahit. Bagi rakyat Ukraina, ini terasa seperti pengkhianatan terhadap pengorbanan ribuan nyawa.
Namun, dari kacamata strategi, ini mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan eksistensi negara Ukraina agar tidak tergerus habis menjadi failed state yang hancur total.
Militer Ukraina. (Foto: Antara)
Kesimpulan
Konflik Rusia-Ukraina mengajarkan pelajaran brutal tentang batas kekuatan tekad di hadapan realitas material.
Ukraina tertekan bukan karena kurangnya keberanian, melainkan karena konvergensi faktor geopolitik (kelelahan Barat), strategi keamanan (keunggulan atrisi Rusia), dan ekonomi (kehancuran basis industri).
Dunia kini sedang menyaksikan pergeseran dari idealisme 2022 menuju realisme 2025.
Pilihan bagi Ukraina kini bukan lagi antara "menang atau kalah", melainkan antara "kehilangan sebagian wilayah untuk menyelamatkan masa depan" atau "mempertaruhkan segalanya dengan risiko kehilangan segalanya".
Sebuah dilema tragis yang menjadi penanda suramnya tatanan dunia baru.