news

Daerah

Bola

Sport

Gaya Hidup

Video

Tvone

Dr. Salahudin Gaffar S.H., M.H. Associate Professor Universitas Islam Asyafi'iyah Jakarta.
Sumber :
  • ist

Ketika Roh Officium Nobile Hilang, Profesi Advokat Rentan Menjadi Bagian Kejahatan

Apakah masih pantas kita mengklaim profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) sementara profesi ini sudah manipulatif dan komersial?
Jumat, 14 Maret 2025 - 17:18 WIB
Reporter:
Editor :

PADA beberapa kegiatan pendidikan advokat, saya fokus betul mengajarkan para calon advokat beberapa hal penting jika mereka telah menyatakan sepenuh hati memilih profesi advokat.

Persoalan motivasi, strategi diplomasi dan komunikasi, kematangan emosional dan kekuatan pengetahuan spititual, skill dan knowledge,  konsep people engagement, termasuk personal performance adalah perkara maha penting untuk dipersiapkan. 

Pada gilirannya publik yang akan menilai melalui proses yang disebut public branding.

Terkait area motivasi saya mengingatkan mereka agar menempatkan niat secara sungguh- sungguh pada tempatnya karena beberapa alasan.

Kompetisi yang ketat, kompleksitas masalah yang akan dihadapi, perilaku klien yang mengecewakan, tekanan psikologis dari kolega sejawat (polisi, jaksa , hakim) serta hasil dari pekerjaan harus bermanfaat buat akhirat.

Memilih profesi ini maka beberapa modal  pokok harus disiapkan,  perlunya wawasan luas, jaringan inter kolega dan antar kolega yang baik dan berkualitas. Ingat dua kata terakhir yang saya sebut : "jaringan yang baik dan berkualitas."

Dari semua yang saya sebutkan di atas, itu yang disebut kompetensi. Kompetensi akan diuji pada kondisi normal maupun abnormal. Kondisi abnormal yakni ketika berhadapan dengan perkara yang rumit,  lawan yang menantang, kolega dan klien yang tidak paham ribetnya birokrasi pelayanan publik diberbagai institusi terkait penanganan perkara yang dikuasakannya.

Namun demikian yang paling mahal disiapkan adalah kualitas integritas yang dibangun diatas fondasi spiritual.

Seberapa bagus kualitas integritas kita, penilaian akhirnya adalah melalui keputusan "penilaian publik". 

Bahwa oleh karena advokat fungsinya berkaitan dengan "bisnis" jasa maka bisa diukur penilaian pengelolaan bisnis jasa tersebut melalui dan dari mulut ke mulut yakni seperti apa perspektif publik. 

Untuk hal ini berlaku seperti pisau bermata dua. Jika cacat moral maka habis sudah. Cacat moral timbul karena attitude. Attitude akan diuji melalui pintu pertama soal kapasitas skill. Kedua adalah soal uang. Ketiga kemapanan endurens saat pressure terjadi. Jika lolos maka akan banyak hasil yang dipetik.

Kedudukan Profesi Advokat

Menurut ketentuan khusus (UU Advokat) advokat adalah bagian dari penegak hukum. Profesi advokat terikat oleh hukum dan etik. Roh berkenaan dengan fungsinya terikat pada sakralitas makna officium nobile. 

Officium nobile itu tidak bisa menjadi kebanggaan jika perilaku advokat cacat melalui ucapan dan tingkah laku. 

Kami memilih cara yang dianggap tidak lazim ketika menerima kuasa dan tanda tangan MOU (kebetulan klien saya mayoritas orang asing) yakni mewajibkan taat pada code of conduct Firma Hukum kami.  Yakni tidak melibatkan kami pada pelanggaran hukum, etika dan moral selama perkaranya kami bantu.

Walaupun muncul dilema (umumnya pemberi kuasa lokal) mereka "loncat pagar" dengan jalannya sendiri berhubungan dengan pihak penegak hukum lainnya tanpa sepengetahuan kuasa hukum. Berdasarkan (pengalaman) kasus seperti ini terjadi,  lantaran karena kami menolak menjadi media perantara walau hanya sekedar mengantarkan titipan souvenir.

Persoalan psikologi

Hal yang sangat urgent dalam menjalankan profesi ini adalah kematangan dan kecerdasan emosional dan spiritual, karena kuatnya tekanan di area praktek. Selain itu godaan bahwa para advokat ingin "kelihatan sukses" namun belum waktunya. 

Saya kerap kali guyon pada saat mengajar pendidikan advokat. Ciri advokat yang ingin "kelihatan sukses" adalah dasinya guede, omongannya guede, gayanya selangit, dimedsos gayanya seperti sibuk menangani perkara, fotonya kren didepan pengadilan padahal jobless, ironisnya smartpohonenya nggak punya quota. 

Area rawan dan resiko

Mengamati Persoalan Hotman Paris versus Rasman., dkk. dapat dipahami yang menonjol adalah persoalan psikologis yang serius yang sedang mereka hadapi. Hotman pada posisi responser Rasman dan Firdaus pada posisi stimuler. 

Menurut ilmu dan para ahli psikologi baik Hotman Paris maupun (khusus Firdaus) mereka diduga sama-sama memiliki masalah kejiwaan yang disebut Histrionic personality disorder (HPD).

Histrionic personality disorder (HPD) adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan pola perilaku yang terus-menerus mencari perhatian dan memiliki emosi yang ekstrem. Orang-orang dengan HPD ingin menjadi pusat perhatian di setiap kelompok orang, dan mereka akan merasa tidak nyaman bila tidak diperhatikan.

Senang pamer dan ingin terlihat dihadapan publik. Bahkan terjadi overacting melalui tampilan dan pamer harta. Jika kita amati rekam jejak perilaku Hotman Paris Hutapea di media maka keberhasilan itu diukur dengan berapa banyak koleksi emas dan permata yang menempel di badan dan "menempel" di dompet. Hal itu tergambar dari pola perilakunya di depan media. Secara ilmu marketing Hotman Paris dengan cara ini berhasil membangun self branding.

Jika berbicara persoalan sukses sesungguhnya, normalnya orang disebut sukses itu dapat dilihat dari anatara lain berapa besar dia membawa manfaat buat orang banyak. Khairunnaas anfauhum linnaas. Bukan memanfa'atkan orang banyak melalui saluran publik seperti media. 

Namun demikian seperti yang saya tulis di dalam buku motivasi saya. "Anda mampu membahagiakan banyak orang, tetapi anda tidak akan sanggup memuaskan satu orang pendengki anda (drsg@spiritualmotivation).

Mungkin kutipan ini  formula valid menelusuri sebab musabab awal mula perseteruan Hotman Paris dengan Rasman. Soal hati.

Lain padang lain belalang. Secara karir profesi Firdaus OW sebenarnya anak gawang yang baru memulai mencoba keberuntungan melalui profesi terhormat ini. Attitude yang telah membunuh mimpinya. Matriks komptensinya sebagai lawyer baru 10 sd 20 persen dari 100 persen. Untuk mengisi yang 80 persen perlu waktu yang panjang pada lapangan praktek. Head to head dengan Hotman adalah langkah cari sensasi. Yang sedang ramai di media Hotman Paris sedang menunjukan jaringannya yang sudah establish baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan.

Tanggungjawab moral

Pertanyaan penting buat generasi officium nobile berikutnya adalah, apa yang bisa diwariskan melalui profesi ini terkait hal yang mewakili kecemerlangan integritas di atas profesi advokat  dalam ikut serta membantu menegakan keadilan, turut serta membangun budaya hukum di negeri ini yang amburadul?

Ilmu keteladanan, adab, tetap hamble adalah gambaran orang sukses sesungguhnya pada profesi ini. 

Menghadapi perseteruan dengan Rasman dan kawan-kawan bagi Hotman Paris adalah pertarungan yang sangat serius. Karena yang disentuh oleh Rasman adalah persoalan yang menentukan karir Hotman Paris dengan nama besar yang sudah berkibar.

Yakni soal integritas yang sangat sensitif apalagi di *blame* dengan "Penjahat Kelamin". Untuk menyelamatkan itu,  Hotman Paris akan "membelinya" dengan harga berapa pun.

Bukan isu baru soal rumors Penjahat Kelamin yang disematkan pada Hotman Paris. Saat berseteru dengan Ruhut Sitompul secara terang terangan Ruhut menyebut nama artis yang sering dia "pakai".

Catatan ini bagi anda yang paham arahnya bahwa kita sedang dipertontonkan adegan perseteruan diantara mereka soal aib (masing - masing) yang mencoreng roh officium nobille.

Jadi,  officium nobile itu harus menyatu dengan hati nurani karena dia idiologi sakral dalam profesi ini. 

Ukuran lain keberhasilan dalam melakoni profesi ini adalah seberapa besar keberpihakan seorang advokat pada upaya penegakan keadilan. Kedua berapa besar kemanfaatan hasil dari "bisnis" jasa ini untuk kemaslahatan lingkungan.

Saat media membuat branding Hotman Paris pengacara dengan 2.5 miliar saya sudah dibayar 3.5 miliar. Tapi biasa saja. 

Mungkin berikut ini prinsip penting bagi anda yang menjalani profesi advokat yang pernah saya dapatkan dari mentor spiritual saya.

*Aji ning diri soko lati, ajining rogo soko busono.*

Hati - hati dengan pikiranmu karena akan menjadi ucapan.

Hati-hati dengan ucapanmu karena akan menjadi perilaku.

Hati-hati dengan perilakumu karena akan menjadi kebiasaan.

Hati-hati dengan kebiasaanmu karena akan menjadi karakter.

Hati-hati dengan karakter karena akan menentukan nasib.

Apakah masih pantas kita mengklaim profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobille) sementara profesi ini sudah manipulatif dan komersial? Demikian pertanyaan senior saya Frans Winata terkait acara yang diadakan oleh PERADI suatu waktu dengan tema Mind of Meeting: Advokat Indonesia Menyambut Masa Depan.

Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban pasti. Bahwa memaksimalkan fungsi konsultan ketimbang fungsi advokat adalah cara cerdas untuk menghindari kekhawatiran Frans Winata, itu sebab saya tidak terlihat di muka pengadilan dan media. Saya memilih beredar dilingkaran para CEO perusahaan asing. Hemat saya ini pilihan terbaik untuk tetap menegakkan agama saya ditengah menggilanya subhat dan haram pada lingkaran  profesi advokat.

Penutup

"Para advokat rentan menjadi bagian dari kejahatan saat mereka tidak berjuang menegakan keadilan tetapi mereka "bersekutu" di dalam peristiwa kejahatan yang sedang ditanganinya antara lain melalui proses pembelaan yang menyesatkan".

Penulis: Dr. Salahudin Gaffar S.H., M.H. (Associate Professor Universitas Islam Asyafi'iyah Jakarta)

Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait

Topik Terkait

Saksikan Juga

02:55
00:50
05:10
01:03
01:20
01:12

Viral