- tim tvonenews
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya
Cipto juga marah dengan bangsanya yang mengadopsi feaodalisme. Dua tahun setelah menulis di De Locomotief, Cipto dengan sengaja melanggar aturan memacu delmannya masuk ke alun alun Keraton Surakarta, tempat ada pelarangan selain sunan dan pangeran mengendarai apapun.
Ia juga mengeritik budaya Jawa yang terlalu dominan di Budi Utomo --organisasi yang ikut ia dirikan-- dan akhirnya memutuskan keluar dan mendirikan Indische Partij, organisasi campuran yang lebih radikal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ironis di alam kemerdekaan feodalisme justru tumbuh subur. Sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis pernah menyebut jiwa feodal sebagai salah satu ciri manusia Indonesia. Lima sifat lainnya, ujar Mochtar Lubis adalah bersifat hipokrit, enggan bertanggungjawab, percaya takhyul, sifat artistik dan berwatak lemah.
Tengok bagaimana pemilu (baik pusat maupun daerah) yang seharusnya melahirkan pemimpin terbaik secara setara bagi siapapun tiba tiba menjadi pemilihan adu banyak uang, adu kuasa dan adu kedekatan. Dengan instrument demokrasi prosedural belaka, pemimpin daerah bisa dipergilirkan ke suami, istri, mantu, paman, keponakan tanpa merasa risih atau bersalah.
Pada akhirnya demokrasi wani piro ini menjerat Republik.
Dengan brutal korupsi dipertontonkan aparat negara tanpa rasa malu. KKN kembali merasuk ke semua institusi negara tanpa kecuali. Jika pun ada penegakan hukum untuk kasus korupsi dengan mudah ditelikung menjadi alat intimidasi kekuasaan untuk menekan lawan politik.
Demikian, setelah 79 merdeka, jelaga kolonialisme masih kita adopsi meski mungkin tak kita sadari.
Saya kira setelah upacara HUT ke 79 RI telah usai, pandangan bangsa selanjutnya tak melulu pada aspek-aspek fisik saja. Kita tak bisa hanya menatap yang tinggi menjulang terus menerus, tetapi juga yang melata, meregang, lemah di bawah.
Proyek proyek mercusuar harus dilihat ulang aspek kemanfaatannya bagi warga. Harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Jangan lagi ada upaya demagogis, menciptakan gambaran dan citra yang menutupi realitas yang sebenarnya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung Whoosh misalnya jadi contoh pahit. Karena kajian yang tidak tuntas, biaya investasinya membengkak dan harus ditalangi oleh APBN. Padahal, berdasarkan kesepakatan mestinya tak ada uang rakyat yang harus digelontorkan untuk menutupi pembengkakan biaya proyek hingga US$ 7,2 miliar (setara Rp 117 triliun).