- Dok.Pribadi
Boston: Enam Bintang (Bagian 1)
SAYA berdiri di sisi jembatan tua sambil memandang air sungai Charles yang mengalir perlahan ke Pelabuhan Boston. Angin kencang menampari wajah. Akhirnya saya sampai juga ke batas ini, titik yang mungkin dirindukan jutaan pelari di Indonesia dan dunia.
Saya menatap batas cakrawala di ujung horizon terjauh. Sekali lagi saya membuktikan ternyata apa yang disebut batas hanya penanda untuk terus dilewati dan dalam beberapa saat lagi saya akan mendapatkan sebuah capaian baru: Enam Bintang!
Di lokasi ini sekitar dua puluh tahun lalu novelis Jepang Haruki Murakami menulis memoar kenapa ia menggandrungi menulis dan berlari, entah kenapa saya juga terdorong merenung kembali kenapa saya tergerak melalukan dan ingin menuntaskan semua petualangan ini.
Di Boston, saya memang begitu terserap dengan energi berlari. Kota tua yang romatik sekaligus intelektual ini rumah bagi Boston Marathon. Sepanjang medio April lalu, saya berlari di Boston setiap hari jelang lomba digelar. Entah kenapa setiap jauh dari tanah air saya justru merenung dengan sangat intens. Meski sebenarnya tak baik berlari terlampau lama untuk seseorang yang dalam hitungan jam mesti menghadapi marathon, saya tetap berlari.
Saya berlari di mana saja di sekujur kota Boston yang hampir seluruh sudutnya ramah pelari: di antara pohon pohon maple yang daunnya berwarna kuning di sepanjang jalan Beacon Hill, berkeliling kawasan pejalan kaki kaki yang nyaman di Quinci Market, melintas di jajaran gedung-gedung kaca jangkung di pusat kota waterfront dan di mana saja.
Kenapa saya sangat mencintai olah raga ini? Iya, seringkali pertanyaan pertanyaan itu muncul ketika saya mengupayakan segala hal terlampau besar untuk aktivitas mengeluarkan keringat ini?