- Istimewa
“Anak-anakmu Adalah Panah Hidup”: Refleksi Pendek Atas Kehidupan Anak-anak Buruh Migran
tvOnenews.com - Anakmu bukanlah anakmu. Begitu kata Kahlil Gibran. Dan, “meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu”, lanjut Gibran. Betapa benarnya ungkapan tersebut. Seperti baru kemarin saya melihatnya sebagai bayi, dan kini ia diwisuda tanggal 22 September 2023, menjadi sarjana baru.
"Sama seperti para ibu lainnya yang selalu merindu akan anaknya yang dapat terus hidup bersamanya, tetapi jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan dapat kau datangi bahkan dalam mimpi," demikian ujar Gibran.
Menatap wajah anak sulungku, seperti menatap masa depan yang tidak terbayangkan. Begitupun perjalanan kami, sekelompok perempuan dan laki-laki yang mendaku sebagai pembelajar, ke Blitar, 9 September 2023.
Perjalanan tersebut membawaku ke dalam sebuah masa yang tak terbayangkan. Masa yang tidak terbayangkan tentang realitas yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia. Realitas yang diabaikan, dilupakan dan tidak dibicarakan oleh mereka yang meninggalkan negeri ini untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak bagi keluarga.
Realitas yang diabaikan, dilupakan dan tidak dibicarakan oleh mereka yang terpaksa meninggalkan keluarganya, baik pasangan hidupnya maupun anak-anak yang mereka kasihi. Realitas yang selama ini tersembunyi dari pandangan banyak orang di luar sana, termasuk para pemangku kepentingan yang terlibat dalam kehidupan pekerja migran secara profesional.
Mereka meninggalkan anak-anak dalam pengasuhan sang nenek dan kakek. Sambil mereka berharap bahwa anak-anak akan tumbuh dalam pengasuhan yang penuh kasih sayang seperti telah mereka alami saat mereka kecil hingga dewasa. Realitas yang baru terbukakan dalam sebuah percakapan sederhana dengan Mbak Sulis dan kawan-kawan, di satu sore yang indah di satu sudut Kabupaten Blitar, di rumah sederhana yang dijadikan sebagai kantor untuk Pertakina. Realitas yang tidak pernah terbayangkan kerumitannya.
Pertakina adalah sebuah organisasi non pemerintah yang didirikan oleh para aktivis sosial yang sebagian merupakan mantan pekerja migran. Selain itu Pertakina turut didirikan oleh akademisi dan peneliti. Dirintis sejak tahun 2010, organisasi ini didirikan atas prakarsa mereka yang memperhatikan nasib para mantan pekerja migran yang mengalami sejumlah masalah, terutama terkait dengan ketahanan ekonomi keluarga, pasca mereka tidak lagi bekerja di luar negeri. Keterbatasan informasi, jaringan dan pengetahuan mengakibatkan munculnya keterbatasan pilihan mereka untuk dapat berkembang.
Dari mereka yang ada di Pertakina, muncul sejumlah cerita kelam. Cerita tersebut tidak hanya tentang kesulitan yang dihadapi di tempat mereka bekerja di luar negeri, ketiadaan perlindungan hak bagi mereka, termasuk bagaimana mereka menyaksikan teman-teman mereka mengalami kecelakaan kerja hingga maut menjemput mereka.
Saat kami datang, tidak lama berselang, baru saja para aktivis Pertakina menerima jenazah pekerja migran yang dipulangkan dari Malaysia. Cerita bergulir tentang proses pemulangan jenazah yang membuat hati terasa nyeri saat mendengarnya.
Cerita berlanjut pada soal bagaimana nestapa berlanjut ketika sejumlah pekerja migran pulang, dan menemui kenyataan pahit. Para pekerja migran terpaksa harus kehilangan keluarganya, baik pasangan hidupnya yang menceraikan mereka, maupun anak-anak mereka. Mereka terpaksa kehilangan anak-anaknya yang berkembang dalam kehidupan pengasuhan nenek yang berbeda dengan yang mereka alami saat mereka bertumbuh dalam pengasuhan sang nenek yang saat dulu merupakan ibunya.
Bukan, kita bukan mendengar cerita tentang kekejaman atau pengabaian sang nenek, akan tetapi sang nenek ternyata kelewat memanjakan sang cucu, sehingga semua permintaan cucu diiyakan saja. Masalah juga muncul karena kesenjangan usia yang sangat Lebar dengan sang cucu, sehingga berdampak pada kurangnya kemampuan untuk memahami situasi zaman yang bergerak cepat.
Pada satu titik, nenek hanya menjadi tempat sang cucu untuk meminta uang dan bantuan-bantuan kecil lainnya untuk kepentingan sekolah.
Lingkungan pergaulan yang berubah dengan cepat, dengan tuntutan yang menjadi sumber tekanan baru, mendorong anak masuk dalam sebuah situasi yang cenderung menyelaraskan dengan lingkungan tersebut. Anak-anak tumbuh lebih banyak bersama dengan lingkungan teman sebayanya, sehingga ajakan untuk berhenti sekolah dan tidak melanjutkan kembali pendidikannya diikuti dan dipatuhi oleh mereka.
Anak-anak ini bertumbuh dengan kurangnya kesadaran akan pentingnya membekali diri dengan pendidikan yang lebih tinggi. Mereka tumbuh dengan kecenderungan untuk bersenang-senang, dan tidak memanfaatkan waktu untuk melakukan hal-hal yang positif sebagai bekal untuk masa depan yang lebih baik. Mereka tumbuh tanpa keterarahan yang jelas dalam proses pengasuhan. Mereka tumbuh tanpa kehadiran orangtua yang lengkap.
Beberapa dari anak-anak ini masuk ke dalam lingkungan sosial yang cenderung memberikan paparan hal-hal buruk, yang mengakibatkan mereka menjadi pelaku kejahatan, seperti pencurian, perkelahian, dan bahkan masuk dalam jaringan peredaran gelap narkoba. Tidak sedikit dari anak-anak ini yang harus menjalani kehidupan di penjara.
Dan sebagian dari mereka yang pernah mengalami kehidupan di penjara, tidak selalu keluar dengan kehidupan yang bersih dan mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, akan tetapi menjadi semakin terpuruk dalam kelindan dan belitan masalah yang tidak berkesudahan.
Hati kami terasa pedih mendengarkan rangkaian cerita kelam dari Mbak Sulis yang menggambarkan seperti apa derita yang dialami oleh para pekerja migran dan mantan pekerja migran dalam kehidupan anak-anak mereka. Kerapkali dalam pedih, tak sanggup kami mengajukan pertanyaan.
Kepedihan semakin menguat karena teringat pada apa yang dikatakan oleh Gibran, bahwa “kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin”. Yang telah terjadi, tidak dapat diulangi. Tetapi dari situasi yang dihadapi ini, pertanyaan menggeliat, apakah yang telah terjadi, tidak dapat menjadi cara kita untuk mulai mengubah gerak ke depan?
Dan ternyata dari situasi gelap dan pedih ini, Pertakina mulai dengan beranjak untuk mengubah gerak ke depan. Pertama berangkat dari pemetaan situasi yang mereka alami, berusaha memperhatikan anak-anak dari pekerja migran untuk memberikan mereka pendampingan.
Dari sebuah langkah kecil, mereka mulai mempercayai bahwa gerak perubahan bisa dilakukan. Terima kasih Mbak Sulis dan kawan-kawan di Pertakina, kami belajar suatu hal baru hari ini. Belajar untuk melihat bahwa realitas sebagai pekerja migran bukan realitas yang sederhana. Realitas yang sesungguhnya jauh lebih besar dan berdampak pada keberlangsungan bangsa ini, bukan hanya soal kesejahteraan sosial, tetapi juga soal masa depan anak-anak yang ditinggalkan.
Demikian sekilas opini dari Maria Puspitasari, Dosen Sekolah Kajian Stratejik & Global Universita Indonesia.