- Dok-Wikipedia
Surat Rahasia Suparjo yang Diselundupkan ke Penjara Omar Dhani, Ungkap Fakta Dibalik Gagalnya G30S PKI
Pada akhir November 1966, Brigjen Suparjo menyelundupkan sepucuk surat ke dalam penjara tempat Laksamana Omar Dhani ditahan, seminggu sebelum Omar Dhani diadili pada tanggal 5 Desember 1966.
Ketika Gerakan 30 September pecah, Brigjen Suparjo menjabat sebagai Komandan TNI Divisi Kalimantan Barat , Sementara Laksamana Omar Dhani menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Udara.
Surat tersebut berisi analisa militer tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab gagalnya operasi Militer G30S PKI pada dini hari, tanggal 1 Oktober 1965 tersebut. Namun upaya penyelundupan surat rahasia tersebut digagalkan oleh petugas penjara.
Surat rahasia Suparjo yang diberi judul "Beberapa Pendapat yang Mempengaruhi Gagalnya G-30-S Dipandang dari Sudut Milite" diperoleh dari Letkol D. Soegondo selama wawancara di kantor TEPERPU, Jakarta, 29 April 1971, oleh peneliti asal Amerika Serikat, Victor M. Fic dalam bukunya "Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi".
"Kawan Pimpinan, Kami berada di Gerakan 30 September selama satu hari sebelum peristiwa, pada waktu peristiwa berlangsung dan satu hari setelah peristiwa berlangsung," tulis Suparjo memulai suratnya.
Operasi G30S PKI dimulai oleh para "Perwira Berpikiran Maju" tersebut dalam kondisi yang sangat letih. Bahkan Letkol Untung disebut Suparjo kurang tidur selama tiga hari saat operasi itu dimulai.
"Kami jumpai kawan-kawan kelompok pimpinan militer pada malam sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang tidur. Misalnya kawan Untung 3 hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Bung Karno di Senayan dalam tugas pengamanan." ungkap Suparjo.
Fakta lainnya sebelum operasi penting itu dimulai, banyak lini pasukan yang ternyata belum siap. Tapi justru dilaporkan oleh bawahan bahwa "sudah beres" agar tidak dicecar oleh pimpinan operasi, misalnya laporan tentang kesiapan personil militer di Bandung untuk mendukung operasi G30S PKI
Foto: Suasana di Lubang Buaya saat pengangkatan jenazah 6 Jenderal Angkatan Darat (Dok.Film G30S PKI)
Persiapan jelang operasi menurut Suparjo dalam surat tersebut terbilang tidak jelas mengenai bagaimana rencana aksi akan dijalankan.
Bahkan akibatnya salah seorang dari perwira Angkatan Darat yang sedianya masuk dalam jajaran pimpinan operasi, pada jam-jam terakhir mengundurkan diri.
Baca Juga: Kolonel Latief Berusaha Kirim "Pesan" G30S PKI pada Soeharto, Tapi Rupanya Ini Sikap Soeharto
"Waktu diteliti kembali ternjata kekuatan yang positif di pihak kita hanya satu kompi dari Cakrabirawa. Pada waktu itu telah timbul keragu-raguan, tetapi ditutup dengan semboyan: apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.” tulis Suparjo.
Fakta-Fakta Saat Pelaksanaan Operasi
Suparjo menjelaskan, berita pertama yang mereka terima bahwa Jendral Nasution telah disergap, tetapi berhasil meloloskan diri. Kemudian tim pimpinan kelihatan agak bingung dan tidak memberikan perintah-perintah selanjutnya.
"Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan melarikan diri, kelompok pimpinan menjadi terperanjat, kehilangan akal dan tidak berbuat apa-apa. Meskipun ada advis untuk segera melakukan offensif lagi, hanya dijawab: Ya, tetapi tidak ada pelaksanannya." jelas Suparjo.
Tak lama setelah itu menyusul berita bahwa Jendral Nasution bergabung dengan Jendral Soeharto dan Jendral Umar di Kostrad. Setelah menerima berita ini
pun, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa-apa.
Foto: Mayjen Soeharto saat pemakanan 6 Jenderal Angkatan Darat, 5 Oktober 1965 (Dok.Film Pengkhianatan G30S PKI)
"Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Batalyon Jateng dan Jatim
tidak mendapat makanan, kemudian menyusul berita bahwa Batalyon Jatim
minta makan ke KOSTRAD. Pendjagaan RRI ditinggalkan tanpa adanya
instruksi" beber Suparjo.
Padahal menurut rencaana, kota Jakarta dibagi dalam tiga sektor: Selatan, Tengah
dan Sektor Utara. Tetapi waktu sektor-sektor itu dihubungi semua tidak ada
ditempat dan bersembunyi.
Pada malam kedua, 1 Oktober 1965, pukul 19.00. Jendral Nasution, Soeharto dan Umar membentuk suatu Komando, dan memperlihatkan tanda-tanda bertindak
untuk esok harinya.
"Mendengar berita ini Laksamana Omar Dhani mengusulkan kepada Kawan
Untung, agar AURI dan pasukan “G-30-S” diintegrasikan untuk menghadapi tegen-aanval (Serangan balik) Nato cs (Nasution-Harto). Tetapi tidak didjawab secara kongkrit. Dalam team pimpinan G-30-S ternyata tidak memiliki offensief-geest lagi." ungkap Suparjo.
Suparjo berpendapat, bahwa sebab dari semua kesalahan ini karena staf pimpinan dibagi 3, yaitu, Kelompok Ketua, Kelompok Syam CS, dan Kelompok Untung CS. Menurut Suparjo, seharusnya operasi berada di satu tangan.
"Karena yang menonjol pada ketika itu adalah gerakan militer, maka sebaiknya
komando pertempuran diserahkan saja kepada kawan Untung dan kawan Syam bertindak sebagai komisaris politik. Atau sebaliknya, kawan Syam memegang komando tunggal sepenuhnya." jelasnya.
Baca Juga: Sosok yang Dicurigai Sengaja Merancang Operasi Militer G30S PKI untuk Gagal
Sistem komando dibagi bersaf-saf, ternyata pula terlalu banyak diskusi-diskusi yang memakan waktu sangat lama, sedangkan pada moment tersebut dibutuhkan pengambilan keputusan yang cepat, karena persoalan setiap menit berganti-ganti, susul-menyusul dan tiap-tiap taraf persoalan harus satu persatu secepat mungkin ditanggulangi.
Foto: Markas Besar Aidit di Halim, Rumah Sersan Usara Suwardi (Dok.Victor M. Fic dalam bukunya "Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi.)
Rencana operasi G30S PKI dalam analisa militer Suparjo ternyata tidak jelas, terlalu dangkal, karena titik berat operasi hanya pada pengambilan 7 jendral Angkatan Darat saja.
Tidak ada rencana yang jelas bagaimana bila operasi berhasil, atau bagaimana kalau gagal. Termasuk rencana bila kemudian terjadi serangan balik.
"Tidak jelas dan apa rencananya bila ada tegenaanval (serangan balik), misalnya dari Bandung bahkan cukup dengan jawaban “sudah, jangan pikir-pikir mundur!”, menurut lazimnya dalam operasi-operasi militer, maka kita sudah memikirkan pengunduran waktu maju dan menang dan sudah memikirkan gerakan maju menyerang ketika dipukul mundur.
Baca Juga: Dugaan Keterlibatan CIA Dalam Operasi G30S PKI, Ini Fakta-Fakta yang Terungkap
Hal yang demikian, ungkap Suparjo, persoalan mundur dalam peperangan bukanlah persoalan yang hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap peperangan atau kampanye.
"Mundur bukan berarti kalah, adalah suatu bentuk dalam peperangan jugag dapat berubah menjadi penjerangan dari kemenangan, membubarkan pasukan adalah menjerah dan kalah." ungkap Suparjo. (Buz)