- VIVA.co.id/ Ahmad Farhan Faris
Eks Kapolri Dai Bachtiar Usul Penunjukan Kapolri Tanpa Persetujuan DPR, Khawatir Timbulkan Balas Jasa Politik
Jakarta, tvOnenews.com - Wacana reformasi Polri semakin menguat, salah satunya usulan tajam dari mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Tan Sri Dai Bachtiar yang mengusulkan agar proses penunjukan Kapolri tidak lagi harus melalui mekanisme persetujuan DPR.
Ia menilai kewenangan itu semestinya kembali sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden, tanpa campur politik di parlemen.
“Pemilihan Kapolri itu kan Presiden toh, hak prerogatifnya Presiden. Tetapi, Presiden harus mengirimkan ke DPR untuk minta persetujuan. Nah, ini juga jadi pertanyaan. Apakah masih perlu aturan itu?” ujar Da’i dalam audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Jakarta, Rabu (10/12).
Da’i hadir bersama Persatuan Purnawirawan Polri, ISPPI (Ikatan Sarjana Profesi Perkepolisian Indonesia), serta perwakilan alumni PTIK (kini Sekolah Ilmu Kepolisian (STIK), termasuk para perwira aktif yang fokus pada kajian ilmu kepolisian.
Menurut Dai, mekanisme politik dalam pengesahan Kapolri dikhawatirkan membuka ruang “balas jasa”.
“Tidakkah sepenuhnya kewenangan prerogatif dari seorang Presiden memilih calon Kapolri… Tidak perlu membawa kepada forum politik melalui DPR. Sebab apa? Ini dikhawatirkan ada beban-beban yang dihadapi oleh si Kapolri ini setelah milih, karena mungkin ada balas jasa dan sebagainya di forum persetujuan itu,” paparnya.
Audiensi tersebut diterima langsung Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin Jimly Asshiddiqie, dihadiri Mahfud MD, Jenderal (Purn) Badrodin Haiti, dan Jenderal (Purn) Dofiri.
Da’i mengatakan rombongannya sekaligus ingin menyampaikan dukungan terhadap agenda percepatan reformasi Polri yang menjadi kebijakan Presiden RI, Prabowo Subianto.
Ia menjelaskan masukan yang diberikan menyangkut tiga ranah reformasi yakni instrumental, struktural, dan kultural.
"Mulai revisi UU Polri, evaluasi struktur organisasi dari Mabes hingga Polsek, hingga perbaikan kultur keteladanan dan integritas anggota di lapangan," tuturnya.
"Termasuk persoalan teknis yang kerap menjadi akar masalah penyimpangan, yaitu anggaran penyidikan," imbuhnya.
Da’i menilai pengaturan anggaran penegakan hukum tidak bisa disamakan seperti belanja infrastruktur. Minimnya dukungan anggaran bisa mendorong penyidik mencari “jalan lain”.
“Ada kasus yang berat tapi mudah diselesaikan. Ada kasus sama tetapi memerlukan waktu, biaya tinggi. Jangan sampai karena kekurangan anggaran kemudian mencari anggaran di luar ketentuan,” ujarnya.