- tvOnenews/Taufik
Sepi, Muram, dan Menunggu: Potret Pedagang JPM Tanah Abang di Tengah Lesunya Pembeli
Jakarta, tvOnenews.com — Siang itu, terik matahari menelisik dari balik teralis Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).
Udara hangat bercampur aroma kain baru menusuk penciuman, namun suasananya jauh dari hiruk pikuk pasar yang dulu menjadi nadi ekonomi rakyat kecil.
Kini, JPM Tanah Abang lebih mirip lorong panjang yang sunyi — hanya dilalui orang-orang yang terburu-buru menuju Stasiun Tanah Abang, tanpa sedikit pun menoleh ke kios-kios di kiri-kanan mereka.
Dari ratusan kios berukuran 1,5x1,5 meter di sepanjang jembatan itu, banyak yang tutup. Pintu-pintu lipat berdebu, beberapa ditempeli kertas bertuliskan “tutup”. Di antara yang masih bertahan, tampak wajah-wajah pedagang yang muram, duduk di kursi plastik, memandangi arus manusia yang lewat tanpa berhenti.
“Dulu ramai sekali, apalagi waktu awal buka. Sekarang, sehari kadang cuma satu-dua yang beli,” tutur Ibu Sari (56), pedagang pakaian yang sudah tiga tahun berjualan di JPM, dengan nada lirih.
Di hadapannya, gamis dan hijab bersinar di bawah lampu LED kecil, tapi tak ada satu pun tangan yang meraihnya.
Beberapa pedagang lain memilih berkumpul di sudut jembatan, berbagi cerita untuk mengusir bosan. Tawa mereka terdengar hambar, menandakan lebih banyak keputusasaan ketimbang kegembiraan.
Di sisi lain, seorang pria paruh baya tampak tertidur di kursi panjang, topinya menutupi wajah. “Daripada bengong, mending tidur. Pembeli juga belum tentu datang,” gumam Hari (61) singkat.
Kondisi ini sudah berlangsung lama. Sejak pandemi dan relokasi besar-besaran, arus pengunjung ke JPM tak pernah benar-benar pulih.
Padahal, infrastruktur sepanjang 386 meter itu dibangun dengan harapan menjadi simpul ekonomi baru yang menghubungkan Stasiun Tanah Abang dan kawasan pasar di sekitarnya.
Kini, fungsi JPM lebih banyak sebagai jalur penyeberangan. Orang datang dan pergi, menenteng tas belanja dari blok lain, tanpa singgah.
Para pedagang hanya bisa menatap punggung-punggung yang berlalu — berharap suatu hari ada yang berhenti, bertanya harga, atau sekadar tersenyum.
“Kadang saya cuma pengin ada yang nyapa, biar rasanya masih kayak jualan,” kata Wawan, penjual kaus yang kiosnya berhadapan dengan tangga menuju stasiun.