- Istimewa
Harga Beras Melejit, Ombudsman Cium Dugaan Maladministrasi Hingga Rugikan Negara Rp7 Triliun
Jakarta, tvOnenews.com - Ombudsman RI menyebut, kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kekurangan stok, melainkan karena tata kelola yang buruk. Hasilnya, potensi kerugian negara Rp7 Triliun.
Hal ini itu hasil pemantauan Ombudsman RI di Karawang, Pasar Induk Beras Cipinang, 137 ritel tradisional di 25 provinsi dan ritel modern di Jabodetabek.
Dimana harga beras premium tercatat mulai Rp14.700 per kilogram hingga Rp32.400 per kilogram, sedangkan beras non-premium dijual Rp21.000–Rp37.500 per kilogram. Sementara beras operasi pasar SPHP tersedia di harga Rp12.500 per kilogram.
"Ombudsman juga mencatat kondisi cadangan beras pemerintah yang mengkhawatirkan. Dari total stok Bulog 3,9 juta ton, terdapat lebih dari 1,2 juta ton beras berumur lebih dari enam bulan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan disposal hingga 300 ribu ton dengan taksiran kasar kerugian negara sekitar Rp4 triliun," ucap Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam keterangannya, Rabu (3/9).
Yeka menambahkan, realisasi penyaluran SPHP baru mencapai 302 ribu ton atau 20 persen dari target 1,5 juta ton, dengan rata-rata distribusi harian hanya 2.392 ton. Hal ini jauh di bawah kebutuhan harian sekitar 86.700 ton.
Ia juga menyoroti soal realisasi bantuan pangan baru 360 ribu ton atau sekitar 98,62 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2024.
Menurutnya, baik SPHP maupun bantuan pangan belum mampu menekan harga beras yang secara umum masih di atas HET.
Sehingga, Ombudsman menilai kondisi tersebut memperbesar biaya pengelolaan di Bulog, mulai dari pengadaan gabah any quality, penyimpanan stok hingga 4 juta ton, serta penyaluran cadangan beras pemerintah yang rendah. Total taksiran kasar potensi kerugian negara akibat tata kelola perberasan tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun.
Kondisi ini membuka ruang terjadinya maladministrasi, meliputi risiko disposal stok cadangan beras pemerintah, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, keterbatasan ketersediaan beras di ritel modern, harga beras yang tetap di atas HET, serta potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah.
"Publik kini menghadapi situasi harga mahal, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika ini dibiarkan, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pangan," ujar Yeka.