- Freepik
Wacana Bea Masuk Anti Dumping Industri TPT, Pengamat Ekonomi Minta Pemerintah Tak Egois Dalam Terapkan Kebijakan
Jakarta, tvOnenews.com - Menanggapi wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY), Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy minta pemerintah tak perlu terlalu egois memikirkan peningkatan tax ratio dengan kebijakan-kebijakan yang justru menyusahkan masyarakat.
Menurut Ichsanuddin, wacana ini dikhawatirkan berdampak buruk pada industri tekstil dalam negeri, salah satunya adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Pemerintah egois. Pemerintah hanya memikirkan meningkatnya tax ratio kan itu poinnya,” kata Ichsanuddin Noorsy ketika dikonfirmasi.
Menurut Ichsanuddin, pengenaan BMAD bakal membuat skema struktur biaya dirombak ulang yang berimbas pada kenaikan harga jual di tengah daya beli yang sedang lesu.
Hal ini menjadi ancaman serius bagi industri tekstil Tanah Air, mereka terancam gulung tikar karena hasil produksi terancam tak laku di pasaran.
“Cari jalan keluarnya kan. Jalan keluarnya satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Kalau restrukturisasi biaya, anti- dumping tetap diterapkan. Yang paling gampang, ya PHK,” ujarnya.
Ichsanuddin melanjutkan, BMAD terhadap produk Benang POY dan DTY adalah penerapan fiskal pajak yang tidak adil.
Pemerintah terkesan secara sengaja memiskinkan orang miskin dengan memajaki seluruh aspek transaksi kehidupan dan transaksi ekonomi. Namun disaat yang bersamaan pemerintah justru memberi keringanan pajak pada pihak tertentu.
Baginya, industri tekstil tidak bisa dipajaki secara sewenang-wenang sebab ia adalah industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Karena sesungguhnya tekstil adalah hajat hidup orang banyak. Sandang itu hajat hidup orang banyak, dia tidak bisa sepenuhnya dilepas ke pasar. Yang bisa dilepas ke pasar itu hanya industri dari kain ke distribusi, ke garmen. Di garmen pun ada lagi yang nggak bisa dilepas ke pasar. Jadi tidak semuanya. Di sini ketinggalan jamannya, di sini ketinggalan jamannya pemerintah Republik Indonesia,” tegasnya.
Penerapan Sistem Pajak yang Usang
Tidak hanya itu, Ichsanuddin pun menyinggung penerapan sistem pajak pemerintah yang dinilainya usang dan ketinggalan zaman.
Di negara-negara lain, kata dia, mereka memandang industri tekstil sebagai industri sandang, mereka benar-benar melindungi industri ini dengan memberi berbagai keringan pajak, itu kontradiktif dengan yang terjadi di Indonesia sekarang ini.
“Kalau melihat kebijakan Jepang, kebijakan India, Pakistan, India, Bangladesh, Vietnam, Inggris, dan Amerika sendiri, mereka masih bicara full perlindungan industri tekstil mereka dengan baik. Tapi tidak dengan tegas-tegas melakukan perlindungan. Karena kata kuncinya adalah mereka masih melihat industri tekstil sebagai industri sandang itu,” ucapnya.
Sebelum badai PHK itu benar-benar membenamkan industri tekstil dalam negeri, kata Ichsanuddin, pemerintah sebetulnya masih punya satu kesempatan melakukan pembenahan menyeluruh.
Menurutnya, cara pandang pemerintah terkait peningkatan tax ratio tak harus terpaku pada BMAD, masih banyak sumber pajak yang lebih menjanjikan jika digarap dengan dengan sungguh-sungguh.
Dia menegaskan pemasukan pajak yang seret sekarang ini disebabkan oleh pemerintah yang tak mampu menumpas kejahatan pajak yang dilakukan korporasi besar baik di dalam maupun luar negeri. Baginya hal ini harus segera dituntaskan.
Ichsanuddin mengatakan, pemerintah hingga kini tidak mampu mengatasi kejahatan perpajakan yang dilakukan korporasi besar baik domestik dan luar negeri.
“Nah, artinya penyelesaian peningkatan perpajakan tidak bisa hanya bicara anti-dumping. Coba lihat dulu kebijakan pelaksanaan dan pengawasan perpajakannya sudah benar atau belum,” tegasnya. (awy)