- Antara
Sembilan Tersangka Kasus Pagar Laut Bekasi Tak Ditahan, Bareskrim Polri Ungkap Alasannya
Jakarta, tvOnenews.com - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memutuskan untuk tidak melakukan penahanan terhadap sembilan tersangka yang terlibat dalam kasus dugaan pemalsuan 93 sertifikat hak milik (SHM) di wilayah pagar laut Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo mengungkap alasan tak menahan para tersangka lantaran yang bersangkutan masih kooperatif.
“Terkait hal tersebut semua kasus pagar laut yang terjadi di Bekasi, penyidik tidak akan melakukan penahanan dikarenakan para tersangka kooperatif,” kata Djuhandani, dalam keterangannya, pada Jumat (25/4/2025).
Djuhandani menuturkan bahwa dalam hal ini juga belum ada kesepahaman antara tim penyidik dan pihak kejaksaan dalam melihat konstruksi perkara pagar laut Bekasi.
Adapun ketidaksepahaman ini melihat dari berkas perkara empat tersangka pemalsuan penerbitan 260 SHM di kasus pagar laut Tangerang.
Tim Kejagung telah mengembalikan berkas perkara untuk dipenuhi soal pasal tindak pidana korupsi.
“Penyidik telah membaca dengan teliti petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi dalam perkara a quo selanjutnya penyidik menyatakan ada beberapa ketidaksesuaian analisa hukum,” jelas Djuhandani.
Djuhandani menyebutkan beberapa ketidaksesuaian tersebut diantaranya berdasarkan putusan MK Nomor: 256/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata sehingga terdapat konsekuensi hukum dari dihapuskannya kata “dapat” dalam frasa “dapat merugikan kerugian negara” di Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Sehingga kerugian negara secara nyata haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan RI (BPK RI) atau Badan Pengawas dan Keuangan Pembangunan (BPKP),” ungkap Djuhandani.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit menyatakan bahwa yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi adalah yang melanggar UU Tindak Pidana Korupsi atau melanggar UU lain yang secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.
“Terhadap adanya indikasi pemberian suap atau gratifikasi kepada para penyelenggara negara saat ini sedang dilakukan penyelidikan oleh Kortas Tipikor Mabes Polri,” kata Djuhandani.