- IST
LBH Jakarta Desak Kapolri Minta Maaf kepada WNA Malaysia yang Diduga Jadi Korban Pemerasan 18 Oknum Polisi
Jakarta, tvOnenews.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mendesak Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo meminta maaf kepada WNA asal Malaysia yang diduga jadi korban pemerasan 18 oknum polisi di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan mengecam insiden dugaan pemerasan WNA asing oleh 18 oknum polisi dalam acara DWP 2024 tersebut.
Fadhil menilai hal tersebut merupakan sikap kesewenang-wenangan dan koruptif aparat kepolisian lintas satuan wilayah di Polda Metro Jaya.
Sebanyak 18 oknum polisi itu diduga memaksa membayar sebesar RM 9 juta atau setara Rp32 miliar agar bisa dilepas.
- Istimewa
Para oknum polisi itu diduga melalukan pemerasan dengan modus melakukan tes urine kepada penonton konser DWP.
"LBH Jakarta menilai bahwa kejadian ini bukan hanya sekedar masalah oknum belaka. Kejadian ini harus dipandang sebagai bagian dari permasalahan serius yang sudah berurat berakar dalam tubuh POlri secara institusional," kata Fadhil dalam keterangan resminya, Minggu (22/12/2024).
Menurutnya apparat Polri harusnya bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Ia mengatakan peristiwa ini terjadi karena ketiadaan niat politik (political will) pemangku kekuasaan untuk mereformasi Polri secara total.
"Akibatnya, Polri makin jauh melenceng dari mandate konstitusionalnya sebagai alat negara yang bertugas melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta melakukan penegakan hukum," tuturnya.
Fadhil mengatakan ada dugaan Tindakan kesewenang-wenangan dalam melakukan tes urine usai pergelaran DWP 2024 yang juga berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) penonton.
Padahal, secara regulasi tes urine hanya dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum, tepatnya di ranah penyidikan.
Artinya, kata dia, polisi tidak bisa secara acak memaksakan pelaksanaan tes urine tanpa ada kepastian prosesnya sudah bergulir di ranah penyidikan.
"Pemaksaan tes urine dan pemerasan terhadap pengunjung dalam kejadian ini merupakan pelanggaran HAM. Polisi sebagai aparatur negara jelas telah melanggar hak atas privasi dan keamanan pribadi pengunjung sebagaimana dijamin Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik," sebutnya.
Dia merasa heran dengan adanya pernyataan Polri yang menyebut anggota polisi yang diduga memeras adalah oknum. Ia meminta ada kejelasan soal proses hukum pidana untuk terduga pelaku.
"Ketiga, walaupun sudah ada pernyataan tentang pemeriksaan terhadap 18 personel yang diduga berkomplot sebagai pelaku, namun hal tersebut masih jauh dari cukup. Sebab, belum ada kejelasan mengenai proses hukum di ranah pidana terhadap para pelaku," ungkap Fadhil.
Lebih lanjut, LBH Jakarta turut menyayangkan ketiadaan transparansi Polri mengenai identitas dan jabatan personel polisi yang terlibat.
Baginya, cara Polri sebagai standar ganda bila dibandingkan dengan kasus lain yang melibatkan masyarakat selain polisi.
LBH Jakarta, kata Fadhil, mendesak agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk meminta maaf kepada korban.
Ia minta agar Kapolri Listyo Sigit mengakui kejadian ini sebagai masalah institusional dan sistemik kepolisian.
Dia juga mendesak Kapolri untuk segera mengungkap dan menyelesaikan kasus ini secara komprehensif dengan transparan.
Selain itu, menindak tegas para pelakunya yang tidak terbatas hanya pada pelaku level lapangan.(muu)