- ANTARA
Sidang Kasus Timah, Majelis Hakim Ungkap Alasan Ryan Susanto Divonis Bebas, Tak Disangka Ternyata...
Salah satu perumus Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999, Prof. Romli Atmasasmita juga telah memberikan pendapatnya sebagai ahli dalam persidangan tata niaga timah beberapa waktu lalu.
Romli menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yang menghapus istilah “dapat” dalam frasa menimbulkan kerugian negara. MK menghapus kata “dapat” dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan ini menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi harus bersifat pasti (actual loss) dan dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara Tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” ucap Prof. Romli.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun menyebut berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara.
“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK,” tambahnya.
Sementara Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin yang sekaligus pakar hukum pertambangan Prof. Dr. Ir Abrar Saleng, SH menambahkan jika terjadi pelanggaran dalam kasus tambang biasanya diselesaikan secara administrasi dan bukan secara pidana.
“Jika sebuah perusahaan pertambangan memiliki izin usaha penambangan (IUP) maka maka setiap pelanggaran yang dilakukan masuk dalam sanksi administrasi dan bukan pidana, semua kegiatan pertambangan yang berbasis izin tidak masuk illegal. Yang dipidana menambang di luar izin,” tutur Abrar.
Dia juga menyebutkan jika memang terjadi tindak pidana dalam perusahaan penambangan maka selain sanksi administrasi, yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM dan bukan pihak lain.
“Sudah jelas yang diatur secara khusus, bahwa yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah PPNS Kementerian ESDM. Selain PPNS dan Kepolisian, Lembaga lain tidak bisa melakukan penyidikan, karena ada seorang penyidik pertambangan harus menjalani pendidikan khusus dan SK khusus,” katanya.