- Istimewa
Praktisi Hukum Ini Buka Suara soal Kasus Mardani Maming yang Berbuntut Panjang
Jakarta, tvOnenews.com - Guru besar dan akademisi hukum bicara soal kasus gratifikasi dan suap yang menyeret Mardani Maming.
Diketehui, perkara yang menjerat Mardani H Maming ini menyoal perizinan tambang, dimana perizinan itu sejatinya telah melalui kajian di daerah hingga pusat.
Bahkan, IUP yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.
Diketahui dari fakta persidangan, proses peralihan IUP ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, ditambah paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben.
Praktisi hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Muhammad Arif Setiawan menilai seharusnya pada peradilan itu yang dicari bukan siapa yang menang dan kalah namun keadilan itu yang dicari adalah kebenarannya.
"Sejauh mana Hakim itu benar-benar mengkaji pledoi yang diberikan oleh terdakwa," ungkap Dr Muhammad Arif dalam keterangannya, Rabu (6/11/2024).
Arif Setiawan menjelaskan terkait pentingnya kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara di pengadilan agar keputusannya benar benar sesuai dengan kaidah hukum.
Hal tersebut sesuai dengan kontroversi yang muncul dalam kasus Mardani H Maming, karena putusan hakim tidak mempertimbangkan unsur unsur penting dalam sebuah perkara di pengadilan.
Dirinya menilai, keputusan hakim yang menjerat mantan Ketua BPP Hipmi tersebut belum memenuhi unsur pidana yang seharusnya dipertimbangkan oleh pengambil keputusan sebelum memvonis sebuah perkara di pengadilan.
"Surat dakwaan itu sebenarnya isinya ada dua yang sangat penting. Pernyataan tentang perbuatan materil yang dilakukan dan pernyataan tentang pelanggaran hukumnya yang dilakukan," ujarnya.
Arif Setiawan menilai seharusnya penegak hukum cermat dan teliti dalam menganalisa unsur unsur tersebut, baik itu formil maupun materil.
Dengan demikian keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan hukum positif yang berlaku.
"Karena itu, pelanggaran hukum itu mesti pasal apa yang dilanggar. Disitukan ada, apakah terdakwa melakukan kesalahan berkaitan dengan surat dakwaan itu. Sehingga dengan demikian salah satu yang harus dibuktikan itu unsur. Unsur delik yang disangkakan itu terbukti atau tidak," ungkapnya.
Menurutnya, bila unsur unsur tersebut tidak terpenuhi, seharusnya pengambil Keputusan (hakim), mengadili perkara dapat membebaskan terdakwa.
"Unsur delik yang disangkakan itu terbukti atau tidak itu penting. Kalau tidak terbukti ya tidak bisa dipaksakan," tambahnya mengakhiri.
Sementara, guru besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Utama menganggap syarat dengan kekeliruan.
Berdasarkan kajiannya, mantan Rektor Undip ini, mengkritisi penghukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Mardani H Maming terkait pasal yang dijeratkan kepada terdakwa.
“Pengadilan Tipikor, yang merupakan pengadilan pidana, tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administrasi tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak bisa dipidana,” tuturnya.(lkf)