Penyidik Kejagung Dinilai Lakukan Abuse of Power..
Sumber :
  • Istimewa

Penyidik Kejagung Disebut Melakukan Abuse of Power, Ini Kasusnya

Kamis, 5 September 2024 - 21:48 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Penasihat Hukum CV. Venus Inti Perkasa (Thamron alias Aon Cs) Andy Inovi Nababan, SH menyatakan Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejagung diduga telah melakukan perbuatan bertentangan dengan Undang-Undang dalam kasus Korupsi Tata Niaga Timah yang kerugiannya mencapai Rp300 Triliun. 

Pernyataan tersebut disampaikan Andy dalam Eksepsi (Nota Keberatan) di persidangan kasus Korupsi Tata Niaga Timah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (5/9/ 2024).

Dalam kesempatan itu, Andy juga memaparkan pengadilan tindak pidana korupsi tidak berwenang mengadili perkara a quo (kompetensi absolut) karena penuntut umum salah menerapkan undang-undang tindak pidana korupsi yang tidak relevan dengan perkara aquo.

“Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak relevan diterapkan dalam perkara a quo, karena status PT. Timah Tbk hanyalah anak perusahaan BUMN yang tidak ada kaitannya dengan keuangan / kekayaan Negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium, dan melihat jangka waktu kejadian perkara PT. Timah Tbk masih menjadi anak perusahaan PT. Inalum,” kata Andy Nababan dalam keterangannya, Kamis (5/9/2024). 


 
Dikatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/PHPU-PRES/ XVII/2019, permodalan Anak Perusahaan BUMN tidak dari negara melainkan dari pemisahan kekayaan induk perusahaan, yaitu BUMN, menyebabkan anak perusahaan BUMN tak memiliki keterkaitan hubungan dengan negara. 

“Selain itu ada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 Sebagai Pedoman pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tersebut perlu dikaitkan dengan Pasal 2A ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN,” jelasnya.

Selain itu, Jebolan Universitas Padjajaran ini menilai, beberapa Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang relevan dengan kasus ini, menyebutkan anak Perusahaan BUMN tidak memiliki keterkaitan dengan hubungan dengan Negara.

“Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perkara a quo seharusnya diselesaikan dengan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup atau Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kerugian Lingkungan Hidup bukan merupakan kerugian Keuangan Negara dan penghitungan kerugian lingkungan hidup  yang dilakukan Penyidik Kejaksaaan Agung dalam perkara a quo bertentangan dengan Undang-Undang,” terang dia.

Andy juga mengungkapkan, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ada sudah cacat hukum, sehingga surat dakwaan JPU batal demi hukum.

“Dalam hal ini penyidik Kejagung telah melakukan penyidikan dan melakukan penghitungan atas Kerusakan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur oleh UU Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jo. UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantas Perusakan Hutan (P3H) Jo UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal, dalam UU tersebut telah diatur kewenangan yang melakukan penyidikan adalah tugas Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS),” urainya. 

Dalam kasus ini, penyidik Kejagung juga telah mengabaikan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

“Dalam dakwaan JPU terdapat beberapa unsur kerugian negara akibat perbuatan terdakwa yang bertentangan dengan UU Minerba, UU Tentang PPLH dan UU Tentang P3H sedangkan pelanggaran tersebut bukanlah merupakan Tindak Pidana Korupsi. Kalau pun ada pelanggaran  maka penyelesaian perkara harus diselesaikan sesuai aturan Undang-Undang yang mengaturnya, sesuai dengan Asas Lex Spesialis Sistematis,” imbuh dia. 

Andy menambahkan tindakan penyidik Kejagun, JPU, BPKP dan pihak-pihak lain dapat diduga melakukan perbuatan bertentangan dengan UU Minerba, UU Tentang PPLH dan UU Tentang P3H dan secara melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dimana secara bersama-sama.

Selain itu, mantan penasihat hukum Kemen LH ini menyatakan dalam perkara ini penyidik dalam perkara A Quo adalah orang yang sama dengan JPU dan ini sangat bertentangan dengan KUHAP dan asas diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan Pidana di Indonesia, sehingga dakwaan yang dihasilkan dari proses penyidikan dan penuntutan juga bias dianggap melanggar hukum.

“Tim Penuntut Umum di persidangan maupun secara berkas perkara telah sangat jelas dan terang-terangan menunjukkan di hadapan persidangan bahwa penyidik dalam perkara a quo adalah orang yang sama yang merangkap sekaligus juga sebagai Penuntut Umum,” paparnya.

Padahal, implementasi asas diferensiasi fungsional di KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan oleh penyidik Polri atau PPNS dan fungsi penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6 KUHAP;

“Pasal 1 angka 1 KUHAP menyatakan: Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan. 

Pasal 1 angka 6 KUHAP menyatakan: Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 6 KUHAP di atas maka telah jelas bahwa jaksa tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik, karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan.(lkf)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:50
02:03
03:05
03:21
01:44
01:05
Viral