- tvOnenews.com/Abdul Gani Siregar
Polisi 'Tersudutkan', Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan Ungkap Fakta Penyiksaan Afif Maulana
Jakarta, tvOnenews.com - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan mengecam tindakan penyiksaan kepada korban anak Afif Maulana (13) dan 17 anak lainnya di Sumatera Barat (Sumbar).
Sebagaimana diinformasikan, Tindakan penyiksaan tersebut dilakukan oleh Dit Samapta Polda Sumbar pada 9 Juni 2024 sehingga menyebabkan satu orang korban anak meninggal dunia dan 17 korban lainnya mengalami luka-luka.
Dalam perkembangan terbarunya, pada Kamis, 27 Juni 2024, Kompolnas telah melakukan investigasi dan menyatakan bahwa setidaknya terdapat 17 anggota Dit Samapta Polda Sumatera Barat terbukti melakukan penyiksaan terhadap 18 orang yang diduga akan melakukan tawuran.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan telah menemukan beberapa fakta awal dan kejanggalan terkait kasus tersebut.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang, Indira Suryani mengatakan adanya inkonsistensi oleh Kapolda dalam memberikan keterangan.
“Mulanya Kapolda menyangkal bahwa korban AM termasuk ke dalam 18 orang yang telah ditangkap. Baru setelah kasus viral, ia menyebutkan bahwa korban AM meninggal akibat benturan akibat meloncat dari jembatan dan luka yang ada di tubuh korban merupakan lebam mayat,” jelas dia, melansir dari keterangan resmi, Selasa (2/7/2024).
Indira menilai dalam menangani kasus dugaan tindak penyiksaan yang berujung kematian ini, pernyataan Kapolda terkait kematian AM tidak didukung oleh adanya analisis forensik dan bukti yang meyakinkan sehingga seringkali mengalami perubahan.
“Pernyataan tersebut pun kemudian diubah ketika pihak keluarga membantah kemungkinan tersebut. Namun pada akhirnya, Polisi menutup kasus dan menyatakan bahwa AM meninggal akibat dari patahnya tulang iga usai jatuh ke sungai,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur mengatakan kepolisian diduga mengaburkan fakta dan kronologi peristiwa.
“Pada awal kasus ini bermula, Kepolisian telah menyatakan bahwa proses pengamanan terhadap anak dan remaja yang diduga akan melakukan tawuran telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan SOP. Kemudian terhadap korban AM, Kapolda Sumbar selalu mengarahkan bahwa kematian AM dikarenakan melompat dari jembatan sewaktu proses pengamanan,” ungkapnya.
“Padahal tidak ada satu saksi pun yang menyaksikan bahwa korban AM ini melompat. Namun Polda sumbar hanya berfokus kepada keterangan saksi A yang menyebut bahwa korban AM sempat mengajak saksi untuk melompat,” sambung dia.
Isnur menjelaskan setelah jenazah korban AM ditemukan, pihak kepolisian juga tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap anak dan remaja yang ditangkap sewaktu kejadian.
Pernyataan dari polisi dinilai Isnur, kerap berubah dan dikatakan korban terpeleset dari jembatan.
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan merangkum sejumlah pandangan yang mereka kumpulkan berdasarkan fakta di lapangan.
Mereka menilai dokter forensik tidak memberikan berita acara autopsi kepada pihak keluarga. Kemudian, penyidik perkara tidak membuka laporan hasil autopsi kepada pihak keluarga.
Mereka juga mengatakan pengarahan opini publik dengan keterangan selektif dari dokter ahli forensik, dan juga adanya pernyataan intimidasi dan penyiksaan terhadap para saksi.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan juga mengatakan bahwa adanya upaya ancaman kepada penyebar berita terkait korban, serta tidak adanya pengamanan di lokasi jenazah korban AM ditemukan.
Terdapat indikasi perubahan zona lokasi penemuan jenazah AM, bahkan ada upaya penghilangan rekaman CCTV da kapolda Sumatera Barat memutuskan untuk menutup kasus dugaan penyiksaan AM.
“Kapolda Sumbar, Irjen Pol Suharyono juga telah memberikan pernyataan bahwa kasus kematian AM telah ditutup pada Minggu, 30 Juni 2024. Pernyataan tersebut diikuti dengan alasan kematian korban AM, yakni AM meninggal akibat dari patahnya tulang iga dan robeknya paru-paru seusai jatuh dari sungai,” tandas dia. (agr/raa)