Motang Rua, Pahlawan dari Manggarai Nusa Tenggara Timur.
Sumber :
  • Yohanes

Mengenal Motang Rua dari Manggarai, Ahli Gerilya yang Ikut Perang Aceh Hingga Ditawan di Vietnam

Kamis, 11 November 2021 - 06:20 WIB

Manggarai,NTT - Dipimpin oleh Padang Ame Naga masyarakat Golo Langkok pindah ke dataran rendah Beokina dan saat bersamaan Motang Rua yang sudah menikahi Ulur saudari kandung dari Raja Bagung pindah dari Lenteng bergabung di Beokina. 
 
Kampung Beokina sekarang terletak di Desa Golo Langkok Kecamatan Rahong Utara Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT). Hijrahnya warga Golo Langkok dan Lenteng atas perintah tua adat Pongkor untuk mengawasi padang penggembalaan ternak kerbau dan kuda di dataran Pong Nggeleng di kaki Gunung Poco Likang.
 
Pembentukan kampung Beo Kina sekitar tahun1880 merujuk pada jejak keberadaan Watu Kina peninggalan Nggaeng Paju dalam wilayah kekuasaan Mangko Pitu. 
 
Sementara pada waktu itu warga di belahan wilayah utara sekaligus ditugaskan mengawasi pergerakan Nggaeng Cibal pimpinan Lontar Melondek yang kemudian diambil alih oleh Paju tokoh klen Ngkuleng yang merupakan turunan Rendong Mata Leso dari Mandosawu.
 
Tujuannya agar Cibal tidak lagi menguasai wilayah yang sudah dikuasai Todo Pongkor pasca perang Weol 1 dan 2 yang dimenangkan Todo Pongkor.
 
Seiring waktu, perawakan Motang Rua yang lahir di Lenteng tahun 1860 dipandang cukup bijak dan pandai sehingga kemudian ia diangkat menjadi kepala kampung Beo Kina. Motang Rua juga dikenal jago berburu. Hingga suatu hari tombaknya melumpuhkan seekor babi hutan besar. Dari dalam perut hewan bercula itu, dia mendapatkan sebilah kapak berwarna putih.
 
"Kapak putih itu kemudian menjadi awal munculnya kekuatan supranatural Motang Rua," ujar Wili Grasias, salah satu keturunan langsung Motang Rua, Rabu 10 November 2021.
 
Perang Kuwu
 
Setelah mendapatkan kapak putih dari perut celeng langsung nama Motang Rua melambung lantaran memiliki ilmu kebal dan bisa menghilang. Sampai perang Kuwu pecah pada tahun 1809 ia dipercayakan adak Pongkor untuk memimpin perang gerilia melawan Belanda.
 
Berjuluk  Guru Ame Numpung, Motang Rua tercatat hidup pada 1864-1952, pada masa perang gerilia adalah seorang panglima perang melawan Belanda. Terlahir dengan nama Petrus Guru, pemuda itu berwatak garang di depan Belanda. Nama Motang Rua secara harafiah berarti 'rajanya celeng'. 
 
Perang Kuwu, terang Wili Grasias meletus karena Belanda melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan perjanjian Borong yang berisi penghormatan terhadap hak Kerajaan Todo-Pongkor selaku penguasa wilayah Manggarai. 
 
Pada Maret 1908, tentara kolonial memerintahkan rakyat Todo-Pongkor mengantarkan bahan bangunan untuk mendirikan kantor administrasi sipil Belanda di Todo. 
 
Belanda kemudian berhasil meyakinkan penguasa Todo-Pongkor, Kraeng Tamur untuk memindahkan pusat pemerintahan Todo-Pongkor ke Ruteng. 
 
Belakangan hal ini dipandang sebagai kesalahan fatal dan menyulut kemarahan Motang Rua.
 
Tindakan pertama dari Motang Rua yakni menghimpun kekuatan dengan konsolidasi dengan teman-teman seperjuangan di berbagai tempat.
 
"Seperti Sesa Ame Bembang, Padang Ame Naga, Naga Ame Demong, Lapa Ame Sampu, Angko, Rumbang, Tengga Ame Gerong, Sadu Ame Mpaung, Nompang Ame Tilek, Ulur, Kedaluan Lelak ( Paci Ame Rami, Nggarang Rombeng Rejeng, Dareng Ame Darung, Kedaluan Ndoso ( Pakar Ame Jaga ) Kedaluan Ndehes ( Raja Ame Kasang Ngampang Leok ), Kedaluan Ruteng ( Nggorong Carep, Tanggu, Kelang Labe, Wakul ) serta adik kakaknya ( Ranggung Lalong Elor, Parang Ame Panggung Nggelong, Parung Jalagalu, Lancur Lalong Pongkor, Latu Lando Rata, Tangur, Nicik, Nggangga, Anggang Ame Geong, Nancung Laki rani, Tagung, Dorok, Corok, Rede, Seneng, Talo, Hasa, Andor Jagu," papar Wili.
 
Karena nia mau perang sudah bulat, Motang Rua melarang rakyat dari arah wilayah Lelak, Ndoso, kolang dan Rahong agar tidak menghantar bahan bangunan, makanan untuk kepentingan Belanda di Ruteng. 
 
Karena membangkang maka Belanda menyuruh kurir bernama Japa Ame Iba ke Beo Kina. Sesampai di Wae kang,  Japa Ame Iba berani memukul seorang rakyat yang bernama Unduk. Karena peristiwa pemukulan itu, maka Motang Rua membunuh utusan khusus itu, dan hal ini membuat serdadu Belanda marah.
 
Pada tanggal 31 Juli 1909, Belanda memerintahkan Motang Rua menghadap petinggi Belanda di Puni Ruteng. Motang Rua tidak mau.
 
"Malah Motang ini tantang, sampai mati pun tidak akan menghadap dan tak tidak sejengkal tanah pun boleh diserahkan kepada ata nggera atau Belanda," kata Wili.
 
Akibat tantangan itu, maka serdadu Belanda melakukan ekspedisi bersenjatakan 12 karabin ke Beokina. Sesampai di Ngalor Sua mereka di hadang pasukan Motang Rua, 10 orang serdadu Belanda tewas, sementara senjatanya di rampas, 2 orang melarikan diri ke jurang ( Dong dan Jakob ).
 
Tanggal 10 Agustus 1909 terjadilah pertempuran di Benteng Kuwu ( Watu Toge) Ratusan pejuang rakyat tewas dan luka-luka.
 
" Ulur istri Motang Rua dan satu orang pengikut Motang tewas," imbuh Wili.
 
Kematian Ulur memicu perang yang lebih besar. Beberapa benteng pasukan Belanda dibakar pengikut Motang Rua.
 
"Banyak tentara Belanda tewas karena Motang Rua pakai taktik gerilya dan lebih menguasai medan perang,” cerita Wili.
 
Sampai tahu 1911, banyak perang meletus di berbagai tempat. Oleh kawan-kawan seperjuangan Motang Rua dipercayakan untuk mengatur taktik perang.
 
 
Diasingkan dan Ikut Perang Aceh
 
Dendan Belanda untuk mendapatkan Motang Rua hidup atau mati menyebabkan Belanda menyandera keluarga adak Pongkor dengan berbagai penyiksaan di markas Belanda di Puni Ruteng. Atas inisiatif Kraeng Baso, maka diupayakan pencarian Kraeng Motang. Kraeng Baso tahu di mana Motang Rua bersembunyi. 
 
Kepada Motang Rua, Baso menyarankan untuk melepas seekor ayam jantan putih hidup-hidup di Pongkor, untuk melepas ilmu Motang yang tidak dapat dilihat oleh sesama manusia.
 
"Setelah ritual yang dilakukan di ngalor Dudang Campat di Pongkor Motang Rua dapat dilihat oleh Belanda dan selanjutnya Motang Rua menyerahkan diri ke markas Belanda di Puni Ruteng," dedah Wili.
 
Oleh Pengadilan Belanda, Motang Rua dan kawan-kawannya dipenjara selama 20 tahun di Batavia. Sebelumnya ia dipenjara di Ende dan Kupang.
 
Sang pahlawan yang sedang menjalani masa pembuangan diperintahkan Belanda untuk menumpas perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. 
 
"Dia berpura-pura mengiakan. Namun ternyata itu cuman akal-akalan. Motang Rua justru membantu dua tokoh pergerakan tersebut," sebut Wili Grasias.
 
Sebagai hukumannya, Motang Rua dibuang ke Saigon, Vietnam. Menurut Wili, di Saigon, Motang Rua jatuh cinta dengan seorang gadis Vietnam dan kemudian menikahinya. Gadis Vietnam itu merupakan anak dari seorang sahabat saudagar Belanda di Saigon. Hasil perkawinan itu, ia mempunyai tiga orang anak yaitu Nona Koe, Suje, dan Guru.
 
Nona Koe, tutur Wili Grasias pada tahun 1951 datang ke Manggarai menemui ayahnya Motang Rua Guru Ame Numpung di Teras Desa Liang Bua.
 
Masa Setelah Hukuman
 
Pada tahun 1927 pada masa Pemerintahan Raja Bagung, Motang Rua kembali ke Manggarai.
 
Sebelum meninggal di Beokina, 25 Maret 1952, Motang Rua dibaptis dan menjadi seorang nasrani oleh Markus Sampu seorang Guru Agama Katholik di Beo Kina.
 
Meski tidak menjadi pahlawan nasional, mama Motang Rua selalu abadi dalam sejarah perjuangan melawan kolonial Belanda di bumi Nuca Lale Manggarai Raya berupa lirik lagu, dijadikan nama jalan, juga nama sebuah lapangan sepak bola.
 
Tahu 2000 silam nama Motang Rua ditetapkan sebagai perintis perjuangan kemerdekaan oleh Dinas Sosial Provinsi NTT. (yohanes/ade)
Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:50
03:27
02:06
03:04
03:16
05:48
Viral