- tim tvonenews
Kultus
Saat pergi ke daerah daerah (terutama di Jawa), Soekarno, rekan Tan Malaka dalam revolusi kerap sisa makanannya diperebutkan penduduk. Piring dan gelasnya setelah digunakan Soekarno tak dicuci oleh sebagian masyarakat. Ada kepercayaan tertentu, entah magis, klenik atau religious. Meski tak disetujui Soekarno, apa boleh buat di alam pikir “tradisional” Soekarno tumbuh jadi mitos.
(Presiden RI ke 1, Soekarno. Dok: IPHHOS)
Cukup mengherankan “cara pandang” itu ternyata tetap utuh hingga abad 21. Sebuah reportase jurnalisme sastra yang indah dari George Quinn--- telah diterbitkan pada 2001 bertajuk Wali Berandal Tanah Jawa, mengulas bagaimana alam berpikir "tradisional" ternyata tetap hidup "laten" hingga kini.
Lewat karyanya, secara imajinatif George berhasil menghubung-hubungkan cerita cerita lokal, mitologi, dongeng dongeng di banyak tempat ziarah di Pulau Jawa. Hasilnya, lempeng cara pandang, alam pikiran “lama” nyaris utuh, tak pernah hilang, laten, hidup dan dihidupi terus menerus.
Bahkan, di pusat kekuasaan ekonomi, politik yang terlihat rasional dan pragmatis di Jakarta, aktivitas warga di situs yang diyakini Makam Mbah Priok semakin semarak, meski sejumlah ahli, sejarawan, agamawan memberikan rekomendasi "ketidakbenaran" sejumlah data sejarah soal narasi di balik makam Mbah Priok.
Sejarah selalu aktual. Kini kita seperti diingatkan kembali dengan polemik Mahad Al Zaytun. Panji Gumilang mulanya dielu-elukan karena berhasil menemukan konsep pendidikan yang integral, menggabungkan kurikulum agama dengan negara dan meramunya dengan ilmu keterampilan hidup yang tak ada dalam sekolah sekolah negara.
Ada pelajaran bertani, berternak atau profesi profesi lain. Saat itu. berbondong-bondong kelas menengah Muslim mendaftarkan anak anaknya menjadi santri di sebuah kompleks pendidikan yang memiliki fasilitas sekolah yang lengkap dan megah di Indramayu, Jawa Barat.
Panji Gumilang lalu tumbuh jadi sosok sentral karena ia memang punya daya tarik. Ia seorang orator di podium. Alumnus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu jelas seorang pembaca yang tekun. Pidato pidatonya banyak mengambil tradisi yang berbeda, seperti Ibrani, Nasrani, Islam.
(Pimpinan Ponpes Al Zaytun, Panji Gumilang)