- Netflix
Review Film Frankenstein (2025): Guillermo del Toro Hadirkan Horor Gotik tentang Ambisi Penciptaan Tanpa Kasih Sayang
Jakarta, tvOnenews.com - Guillermo del Toro, sutradara asal Meksiko yang dikenal lewat film-film horor gotik seperti Pan’s Labyrinth (2006), Crimson Peak (2015), The Shape of Water (2017), dan Nightmare Alley (2021), kembali dengan proyek impiannya, Frankenstein (2025).
Setelah hampir lima dekade mengembangkan kisah ini, Guillermo del Toro akhirnya menghadirkan interpretasi paling emosional dari novel klasik Mary Shelley, kisah tentang penciptaan, penolakan, dan kebutuhan akan kasih sayang.
Dari puluhan film Frankenstein yang pernah dibuat sejak era bisu hingga sinema modern, perbedaan mendasar dalam versi Guillermo del Toro adalah cara ia memusatkan cerita pada emosi alih-alih teror.
- Netflix
Jika kebanyakan adaptasi sebelumnya lebih menonjolkan sisi ilmiah dan juga monster sebagai simbol dosa manusia, Del Toro justru memperlihatkan rasa sakit karena kurangnya kasih sayang.
Del Toro membedah inti dari kisah Mary Shelley, bukan hanya tentang mencipta kehidupan, tapi tentang gagal mencintai kehidupan yang telah diciptakan.
Guillermo berhasil mengubah monster menjadi sosok tragis yang membuat penonton bersimpati, bahkan berduka. Bukan ketakutan yang ia ciptakan, melainkan rasa kehilangan yang mendalam.
Film ini menyoroti Dr. Victor Frankenstein (Oscar Isaac), seorang ilmuwan muda yang terobsesi pada kematian setelah kehilangan ibunya di usia dini. Trauma masa kecil tersebut menjadi akar obsesinya untuk mengalahkan kematian dan menciptakan kehidupan baru.
Namun saat obsesinya berhasil mewujudkan makhluk hidup, The Creature (Jacob Elordi), Victor justru tak mampu menerima bahwa The Creature tidak sesempurna yang ia harapkan.
Ia menolak ciptaannya, menganggapnya kesalahan yang harus dihapus, padahal makhluk itu hanya menginginkan satu hal yang paling manusiawi yaitu kasih sayang.
Del Toro mengemas relasi antara Victor dan makhluknya dengan nuansa psikologis yang jauh lebih dalam.
The Creature yang tercipta merupakan cerminan dari luka batin Victor, bayangan kesepian yang lahir dari kehilangan cinta seorang ibu dan tekanan ayah yang absen dalam pengasuhan, menampilkan hubungan mereka layaknya ayah dan anak yang gagal saling mencintai.
Sedari awal, relasi Victor dengan keluarganya pun menjadi lapisan penting dalam film ini. Ibu Victor digambarkan penuh kasih namun rapuh dan kematiannya yang tiba-tiba saat melahirkan sang adik William (Felix Kammerer) meninggalkan kekosongan emosional yang tak pernah ia sembuhkan.
Ayahnya, seorang bangsawan kaku dan otoriter, menekan Victor untuk selalu berprestasi, tapi tak pernah memberikan kasih sayang.
Dari ketegangan inilah lahir kebutuhan Victor untuk mencipta, bukan karena kemuliaan ilmiah, melainkan karena hasrat terpendam untuk memainkan peran Tuhan yang tak pernah ia rasakan di rumahnya sendiri.
- Netflix
Sementara itu, Elizabeth Lavenza (Mia Goth), tunangan William, menjadi jembatan antara manusia dan makhluk.
Ia melihat sisi lembut dalam diri The Creature, memperlakukan makhluk itu dengan empati yang tak pernah diberikan Victor.
Dalam beberapa adegan, Elizabeth bahkan memperlihatkan tatapan iba, penasaran, dan juga ketertarikan terhadap The Creature, termasuk rasa bersalah karena ulah Victor yang dianggapnya tidak bertanggung jawab terhadap ciptaannya.
Secara keseluruhan, Guillermo del Toro menghidupkan kembali pesan klasik Mary Shelley, yaitu penciptaan tanpa kasih sayang adalah dosa tertinggi manusia.
Dalam dunia modern di mana manusia terus mencipta seperti adanya teknologi AI, bioteknologi, hingga sistem sosial baru, film Frankenstein juga ini menjadi cermin, apakah kita masih tahu cara mencintai apa yang kita lahirkan?