- ANTARA
Dinilai Rugikan Masyarakat, Walhi Malut Minta Pemerintah Pusat Audit Proyek Jalan Trans Halmahera
Jakarta, tvOnenews.com - Proyek pembangunan Jalan Trans Halmahera atau Trans Kie Raha di Maluku Utara menuai kritik tajam oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Pasalnya, Walhi Maluku Utara (Malut) menilai proyek strategis milik pemerintah provinsi setempat lebih cenderung berpihak pada industri pertambangan di kawasan tersebut.
Manajer Advokasi Tambang Walhi Maluku Utara, Mubalik Tomagola mengatakan proyek itu turut serta berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat adat serta kawasan lindung di Halmahera.
“Kalau Istana fokus menambang nikel di Indonesia, Gubernur pun begitu fokus membangun (jalan) Halmahera yang cenderung penuh dengan konsesi. Kita ini daerah kepulauan, kenapa tidak membangun pelabuhan atau tembatan perahu untuk konektivitas masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil?,” kata Mubalik kepada awak media, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Mubalik menuturkan proyek jalan Trans Halmahera yang direncanakan menghubungkan Sofifi hingga Desa Ekor di Halmahera Timur, lalu diteruskan ke Kobe di Halmahera Tengah sejatinya melewati sejumlah wilayah yang padat dengan aktivitas tambang nikel.
Selain itu, rute alternatif yang sedang dikaji yakni Sofifi–Ekor melalui Tabadamai berpotensi bersinggungan dengan konsesi perusahaan tambang besar.
Bahkan, pihaknya menilai adanya kepentingan korporasi di balik proyek strategis itu.
“Toh jalan yang dirancang pun akan membuat masyarakat adat O’Hongana Manyawa semakin terisolasi. Konektivitas itu hanya di atas kertas, tapi di lapangan malah memperlebar kesenjangan warga dengan ruang produktivitas mereka,” kata Mubalik.
“Itu betul, jalan yang dirancang melintasi konsesi pertambangan milik Ibu Sherly (Gubernur Maluku Utara). Pemerintah pusat harus mengaudit ini barang, karena proyek semacam ini harus diletakkan dalam kerangka pembangunan untuk warga, bukan untuk oligarki,” sambungnya.
Ia mengaku Walhi Maluku Utara mendesak pemerintah pusat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan audit menyeluruh terhadap proyek senilai sekitar Rp1 triliun tersebut.
Selain itu, kata Mubalik, pemerintah pusat juga harus menangguhkan proyek tersebut bila ditemukan pelanggaran tata ruang maupun dampak ekologis serius.
“Pemerintah pusat harus memastikan apakah jalan ini benar untuk mobilisasi warga atau malah menjadi agenda terselubung untuk korporasi. KLHK juga perlu mengkroscek apakah pembangunan ini tidak melanggar ruang hidup masyarakat adat atau kawasan lindung seperti Taman Nasional Ake Tajawa Lolobata,” ujarnya.