- Antara
Blak-blakan! Pengamat Ekonomi Nasional Bicara Perbedaan Mendasar Judi Kalangan Bawah dan Kasino
“Banyak kabupaten sudah melakukan survei, dan masyarakat di daerah-daerah miskin, yang tak punya tambang atau hasil bumi, sangat mendukung adanya kasino di wilayahnya. Mereka sadar ini satu-satunya peluang riil untuk menambah PAD tanpa merusak lingkungan,” tegas Bennix.
Dia mencontohkan negara-negara seperti Singapura dan bahkan Mesir yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim, namun mampu mengelola kasino secara legal untuk mendorong sektor pariwisata dan jasa.
“Genting Malaysia, perusahaan kasino besar itu, dapat ratusan triliun dari orang Medan. Lalu uang itu mereka pakai buka cabang di Mesir. Negara kita malah tetap kirim duit ke sana. Ini kan ironis,” tegasnya.
Bennix juga menepis anggapan bahwa kasino adalah penyebab utama kerusakan moral.
Dia membedakan secara jelas antara kasino fisik untuk kalangan atas, dengan judi maupun judol ilegal yang menyasar masyarakat bawah.
“Kasino adalah hiburan kalangan menengah ke atas. Mereka datang dengan sadar dan siap rugi miliaran, sebagai bentuk rekreasi. Bukan judi online yang menjebak tukang ojek dan tukang sayur demi mimpi jadi kaya,” jelas Bennix.
Bennix juga menyentil adanya kemungkinan tekanan asing dalam menggagalkan potensi kasino di Indonesia.
Dia menyebut negara-negara seperti Singapura dan Malaysia sangat mungkin “berinvestasi” dalam bentuk kampanye anti-kasino di Indonesia melalui jalur LSM atau isu agama demi melindungi kepentingan ekonomi mereka.
“Saya tahu betul ada banyak LSM di Indonesia yang didanai asing untuk menggagalkan kebijakan yang bisa ganggu bisnis mereka. Termasuk bila Indonesia bangun kasino. Realitanya, mungkin ada pejabat kita yang terima suap agar tetap biarkan uang rakyat Indonesia mengalir ke luar,” bebernya.
Bennix menuturkan, negara tidak boleh terus berwacana tanpa aksi.
Ketika sektor formal gagal menyerap jutaan pengangguran, dan kas negara terus terkuras, solusi seperti legalisasi kasino harus mulai dibahas secara terbuka, realistis, dan berbasis data.
“Ini bukan soal halal atau haram. Ini soal kebutuhan negara bertahan. Negara udah berdarah-darah. Kalau gak berani ambil langkah cepat, kita akan terus jadi ATM buat Singapura, Malaysia, dan Makau. Kita ini punya budaya lomba burung, sabung ayam, karapan sapi—semua itu bentuk hiburan rakyat. Sekarang saatnya negara juga punya hiburan untuk kalangan atas yang bisa hasilkan ratusan triliun,” pungkasnya.(lkf)