- Istimewa
Ahli Kehutanan Tidak Relevan Hitung Luas Operasi PT Timah, Pihak Dirut RBT Minta Hakim Berhati-hati
Jakarta, tvOnenews.com – Persidangan dugaan korupsi di Timah menjadi sorotan soal kesalahan penghitungan luas operasi yang dilakukan ahli kehutanan.
Pihak terdakwa Direktur Umum (Dirut) PT RBT Suparta, Junaeidi Saibuh menilai terdapat kesalahan jaksa penuntut umum dalam menyertakan ahli di perkara korupsi timah.
Dia enekankan pentingnya keterlibatan ahli yang relevan, seperti ahli geologi untuk menilai dampak tambang secara akurat, bukan ahli kehutanan.
“Interpretasi citra satelit atas bukaan tambang seharusnya dilakukan oleh ahli geologi, bukan ahli kehutanan,” tegas Junaedi di persidangan duplik terdakwa Dirut PT RBT, Suparta dilansir Minggu (22/12/2024)
Dia mempertanyakan akurasi penghitungan yang dilakukan spesialis forensik api di Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo, yang menyatakan total bukaan tambang pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare dengan kerugian lingkungan mencapai Rp171 triliun.
Menurut Junaedi, data itu justru menunjukkan mayoritas area terbuka akibat aktivitas tambang PT Timah telah terjadi sebelum Januari 2015. Pada periode 2015-2022, luasan bukaan hanya 5.658,30 hektare atau 10,86 persen dari total area.
“Ini membantah tuduhan jaksa bahwa kegiatan tambang masif terjadi pada 2015-2022,” jelasnya.
Junaedi menilai, metode perhitungan kerugian yang dilakukan tidak relevan.
Dia berpandangan ada kecenderungan mencampuradukkan keilmuan, yang dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum.
“Menugaskan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan adalah praktik yang mengabaikan prinsip keilmuan,” ujar Junaedi.
Dia menambahkan, perhitungan kerugian lingkungan sudah seharusnya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memiliki tupoksi dalam studi kelayakan tambang.
Junaedi juga mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar untuk penegakan hukum atau justru didorong oleh ambisi tertentu.
“Jika aspek keilmuan diabaikan, proses hukum bisa terkesan hanya mengejar ambisi tertentu dan mencederai prinsip keilmuan yang diwariskan secara turun-temurun,” katanya.
Selai itu, dia meminta majelis hakim untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, mengingat perbedaan pendapat antara ahli geologi dan ahli kehutanan.
“Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal memastikan bahwa penilaian dilakukan oleh pihak yang kompeten di bidangnya,” pungkasnya.
Senada, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Sudarsono Soedomo menyatakan bahwa penghitungan kerugiaan negara mesti dilakukan dengan ahli yang tepat.
“Pemerintah sudah menghitung dampak tambang terhadap lingkungan dan ekonomi sebelum memberikan izin usaha. Hal ini dilakukan melalui cost-benefit analysis untuk memastikan dampak positif lebih besar daripada dampak negatif,” jelas Sudarsono.(lgn)