- Istimewa
Berekspresi di Media Sosial, Bebas tetapi Bukan Tanpa Batas
tvOnenews.com - Era digital menempatkan media sosial sebagai wadah komunikasi dan tempat berekspresi. Di media sosial orang bebas menyampaikan pendapat dan berekspresi, namun bukan berarti tanpa batas. Batasan itu ialah tidak melanggar hak orang lain.
Trainer sekaligus penulis La Ode Mu’jizat menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam diskusi literasi digital untuk segmen pendidikan yang ”chip in” pada peluncuran bulan baca di Perpustakaan Umum Daerah Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Jumat (20/9).
Diskusi luring (offline) yang menghadirkan bintang tamu penyanyi Angga Dermawan itu terselenggara atas kerja sama Kementerian Komunikasi dan Informatika (kemkominfo) RI bersama Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dalam diskusi bertajuk ”Bebas Namun Terbatas: Berekspresi di Media Sosial”, La Ode menegaskan, kebebasan berekspresi di media sosial butuh etika digital. Karena karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis itu memiliki batas-batas budaya.
”Sementara, setiap batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang berbeda. Setiap negara, bahkan daerah, memiliki etika sendiri. Begitu pula setiap generasi, memiliki etika sendiri,” jelas La Ode Mu’jizat dalam diskusi yang dipandu moderator Anna Nurawalia itu.
Etika dalam bermedia sosial, menurut La Ode, hal itu menyangkut sikap yang dilakukan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, kejujuran, dan perbuatan bajik yang mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
Bagi La Ode, prinsip bermedia sosial itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, mampu menjaga nama baik sekolah, dan tidak melanggar hukum.
”Misalnya, tidak berkeluh kesah tentang hidup, membuka aib diri sendiri atau kerabat, mengunggah konten kekerasan, maupun informasi yang belum jelas kebenarannya (hoaks),” pungkas La Ode Mu’jizat di hadapan peserta diskusi.
Dari sudut pandang berbeda, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Baubau Eko Prasetya menambahkan, kebebasan berekspresi di media sosial harus didasari dengan sikap kritis dan mau berpikir sebelum melakukan tindakan di media sosial.
”Berpikir sebelum sharing (membagikan) sesuatu, berpikir sebelum memposting, dan berpikir sebelum mengklik sesuatu di media sosial,” tegas Eko Prasetya.
Sementara, pegiat literasi digital Yusran Razikun mengingatkan peserta diskusi bahwa dunia digital merupakan dunia masa depan. Untuk itu, pelajar diminta meningkatkan kecakapan digital dengan belajar mandiri, berkreasi, dan berinovasi serta membangun jejaring sosial.
”Kecakapan digital adalah kunci sukses di era digital. Manfaatkan teknologi dengan bijak, waspada terhadap ancaman, dan teruslah belajar dan berkembang,” pungkas Yusran Razikun.
Untuk diketahui, diskusi luring pada peluncuran bulan baca di Perpustakaan Umum Daerah Kota Baubau, ini merupakan bagian dari program Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD). GNLD digelar sebagai salah satu upaya untuk mempercepat transformasi digital di sektor pendidikan hingga kelompok masyarakat menuju Indonesia yang #MakinCakapDigital.
Sejak dimulai pada 2017, sampai dengan akhir 2023 program ini tercatat telah diikuti 24,6 juta orang. Kegiatan ini diharapkan mampu menaikkan tingkat literasi digital 50 juta masyarakat Indonesia hingga akhir 2024.
Kecakapan digital menjadi penting, karena – menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) – pengguna internet di Indonesia pada 2024 telah mencapai 221,5 juta jiwa dari total populasi 278,7 juta jiwa penduduk Indonesia.
Survei APJII juga menyebut, tingkat penetrasi internet Indonesia pada 2024 menyentuh angka 79,5 persen. Ada peningkatan 1,4 persen dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada 2018, penetrasi internet Indonesia tercatat berada di angka 64,8 persen. Kemudian naik secara berurutan menjadi 73,7 persen pada 2020, 77,01 persen pada 2022, dan 78,19 persen pada 2023.(chm)