- Istimewa
Ibu Menyatu, Hutan Lestari
tvOnenews.com - Apa strategi jitu investasi sosial yang terbukti berulang kali? Muhammad Yunus dari Bangladesh menjawab hal ini ketika ia merintis pinjaman kredit mikro dengan memprioritaskan perempuan. Investasi itu terbukti positif. Bukan hanya tingkat pengembaliannya tinggi, walau tanpa jaminan. Dampaknya pun berantai ke seluruh keluarga. Yunus pun diganjar Hadiah Nobel Perdamaian pada 2006.
Kini strategi serupa berkembang di sektor kehutanan global. Pelbagai studi lapangan di seluruh dunia memberikan bukti, jika perempuan berperan aktif mengelola hutan, maka seluruh ekosistem hutan, masyarakat maupun iklim, turut menikmati hasilnya. Di Indonesia, strategi aktivasi perempuan di sektor kehutanan pasca implementasi perhutanan sosial sejak Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/2016 Tentang Perhutanan Sosial tahun 2016 semakin menunjukkan progres. Meskipun masih jauh dari harapan.
Kebijakan Perhutanan sosial memberi hak kelola bagi warga selama 35 tahun di kawasan hutan milik negara dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Sayangnya, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai 2022, baru 13,2 persen dari sekitar 5 juta hektare izin yang diterbitkan diberikan kepada perempuan pengelola.
Angka itu perlu ditingkatkan, salah satunya dengan mengajak para perempuan pekerja dan pengelola hutan berhimpun. Hampir 300 perempuan dan pemuda-pemudi berkumpul di Surabaya awal November 2023 lalu, mereka membentuk Forum Perempuan Penjaga dan Pengelola Hutan Indonesia (FP3HI).
Mereka mengorganisasi dan mendorong keseimbangan kesetaraan dan keadilan gender dalam pengelolaan hutan dari berbagai lembaga non-pemerintah senusantara. Terpilih 14 perempuan anggota presidium dari provinsi Aceh sampai Papua. Peran mereka antara lain mengaktifkan jejaring lokal dan mendorong penguatan peran perempuan mengelola hutan.
Berbagi Cerita dan Inspirasi Hutan
Di Surabaya, gelak tawa ramai terlontar dari para perempuan dan pemuda-pemudi peserta konferensi perempuan penjaga hutan. Kebanyakan baru saling berkenalan di lokasi. Bahkan ada yang baru pertama kali naik pesawat atau menginjakkan kakinya di Pulau Jawa.
Suasananya hangat dan serius. Kecintaan pada hutan menyatukan mereka. Inisiatif mengumpulkan para perempuan ini buah panjang upaya pendekatan responsif gender sejak 2015 melalui program Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola (SETAPAK), The Asia Foundation.
Di antara mereka ada para perempuan mpu uteun, bahasa Gayo untuk menyebut para penjaga hutan, dari Desa Damaran Baru Kawasan Ekosistem Leuser, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Ada Ritawati dari penyangga kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Bengkulu dan Neneng Puspita dari kawasan penyangga Hutan Lindung Bukit Daun, pengelola kelompok usaha perempuan pengelola hutan. Ada Aminah Ahek dan Pascalina Iba, dua ibu petani pala dari Kabupaten Fak-fak, Papua Barat. Hadir pula perwakilan petani perempuan dari Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan lainnya.
Amina Ahek
Saat pembukaan, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah memberi pengantar. Ia menyebut 44 persen wilayah Bengkulu adalah kawasan hutan yang dilindungi. Ia bangga, kelompok usaha perhutanan sosial yang semua anggotanya perempuan datang pertama dari Bengkulu. Di Bengkulu, ada 11 kelompok dan anggotanya 550 perempuan. Luas wilayah kelola mereka mencakup 1076.15 hektare.
Mereka berdedikasi melaksanakan kegiatan pembibitan serta pelestarian hutan. Jumlahnya masih jauh dari target perhutanan sosial Bengkulu. Saat ini baru mencapai 45 ribu hektare dari target 125 ribu hektare. Selama empat hari para perempuan dan anak-anak muda pengelola hutan ini mendapat pengayaan diri, diakhiri dengan konferensi. Materinya mulai soal akses wilayah kelola hutan, di mana mereka perlu mengajukan skema perhutanan sosial atau bekerja sama dengan taman nasional.
Ada juga cara menggunakan citra satelit di hutan sebagai alat bantu pemetaan. Mereka berbagi cara membuat rencana kerja, rencana bisnis serta menyimak arahan pengelola dana lingkungan hidup. Konferensi juga menyampaikan paparan tentang kewirausahaan dan kampanye kreatif digital.
Aktivis hak asasi manusia Sulawesi Tengah Eva Bande mendorong perempuan peka terhadap situasi di sekelilingnya. Dan pendiri Sikola Mombine yakni Mutmainah Korona, kini anggota DPRD Kota Palu, mengajak perempuan jeli memanfaatkan forum-forum formal desa, kelurahan dan kecamatan untuk menyampaikan masukan.
Muthmainah Korona
Fasilitator kongres Lili Hasanudin, mengatakan bahwa tujuan mempertemukan para perempuan penjaga hutan ini adalah membuat mereka saling berinteraksi memperluas jejaring dan advokasi perjuangan akses legal ke kawasan hutan melalui perhutanan sosial.
Menurutnya, meskipun kecepatan masing-masing kelompok berbeda, tidak menjadi soal, justru di situ tantangannya. Pendampingan juga menentukan, semakin baik pendamping, semakin maju kelompok bimbingannya.
“Di Papua, misalnya, harus sering dilakukan acara-acara seperti ini. Setelah ini harus diadakan tindak lanjut dari kongres ini yang sifatnya tematik,” katanya.
Apa Keunggulan Perempuan Mengelola Hutan?
Konferensi menyoroti bahwa lebih dari 80 persen pemilik izin perhutanan sosial adalah laki-laki dan berusia lanjut. Karena itu, sumbangsih perempuan dan kaum muda dalam pengelolan hutan akan membuat pemanfaatan izin optimal, termasuk menghindari potensi konflik di dalam hutan.
“Jika bertemu perambah hutan, perempuan bukan adu otot. Ibu-ibu patroli justru mengajak bicara. Lama-lama perambah tidak kembali ke hutan,” kata Rubama, community officer Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, yang menjadi fasilitator.
Sikap non-konfrontatif itu baru satu keunggulan. Secara umum, perempuan lebih telaten menarik manfaat hutan dibanding laki-laki yang cenderung fokus pada komoditas ekonomi. Bagi perempuan, hutan penyedia kebutuhan dasar, mulai dari air bersih, bahan pangan, obat-obatan, kayu bakar sampai ke pakan ternak.
Ketika kedekatan ini diletakkan dalam skema perhutanan sosial, peran perempuan semakin besar. Ia fleksibel membangun komunikasi dengan semua pihak, termasuk perangkat desa sampai ke urusan menagih iuran warga. Perempuan juga melibatkan anak-anak remaja mengembangkan usaha dan promosi produk andalan desa via media sosial. Sayangnya, ada satu satu urusan besar yang tak dibicarakan terbuka, yakni budaya patriarki.
“Di sinilah terletak ketidaksetaraan gendernya,” kata Lenny Rosalin, Deputi bidang Kesetaraan Gender, Kementerian Bidang Perempuan dan Anak saat membuka konferensi.
Sudah ada aturan pengarusutamaan gender di sektor kehutanan, tapi kebijakan ini perlu dibuat lebih menapak. DI lapangan, pengelola perhutanan sosial cenderung dominan pria. Padahal di pelosok, perempuan adat mengalami beban ganda dalam sistem patriarki negara dan adat. Mereka masih minim mendapat pengakuan sebagai bagian dari masyarakat hukum adat. Jangan ditanya soal perhatian pada masalah-masalah perempuan adat. Nihil.
Sebaliknya, bukti praktik baik terus terjadi. Misalnya saja kisah para perempuan di kampung Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Kawasan Ekosistem Leuser, yang trauma akibat banjir bandang weh gile 2015. Air bah itu membuat mereka menderita karena tak punya akses air bersih saat berminggu-minggu tinggal di pengungsian. Karena itu, sejak izin pengelolaan mereka peroleh pada 2019, mereka keluar-masuk hutan untuk berpatroli.
Mereka mencatat, memetakan, merawat dan menanami kembali sisi-sisi hutan yang terdegradasi. Pohon-pohon buah diperbanyak agar satwa liar punya makanan dan tidak turun ke desa. Hasilnya, desa mereka pun mendapat penghargaan Anugerah Pesona Indonesia dan Kalpataru. Dunia internasional pun memberi status eco-village sekelas Asia Tenggara.
Para rangers pun mendapat penghargaan Lotus Leaderships Awards dari The Asia Foundation di Amerika Serikat dan mengundang liputan media BBC dan NYTimes. Perempuan petani dan petani muda pun turut menyumbang ketahanan pangan lokal dengan menerapkan tumpangsari tanaman pangan dan tanaman komoditas.
Ini membuat produksi tanaman pangan menyumbang nutrisi keluarga, sekaligus bermanfaat untuk tujuan ekonomi. Ini seperti kelompok petani muda di Sintang, Kalimantan Barat, yang membudidayakan tanaman Jawak, atau sorgum dan asam kandis. Serta Ritawati dan kelompoknya, petani kopi di Bengkulu, yang menanam kecombrang dan pakis di bawah tegakan pohon Taman Nasional Kerinci Seblat.
Perempuan juga memberi dampak positif saat turut mengelola sistem industri: di hulu saat proses produksi di lahan, di tengah saat membuat olahan setengah jadi, maupun di hilir saat mengolah, mengemas dan memasarkan. Masyarakat adat Semendo, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, memproduksi sarung pisau kreasi bambu dan rotan hasil hutan adat, dengan keahlian pandai besi warisan nenek moyang.
Bahkan ketika perempuan dilarang adat masuk hutan seperti di Desa Bunin, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, bibit tanaman hutan yang dibawa pulang oleh para laki-laki kemudian dikembangbiakkan oleh kaum perempuan. Mereka mengelola pusat pembibitan yang bermanfaat bagi seluruh kawasan, sampai bisa dijual keluar kampung.
Perhutanan sosial adalah kebijakan yang menjadi wadah kompromi. Banyak tanah berstatus negara secara de facto sudah dikelola masyarakat. Seringkali hutan yang turun-temurun sebelum Republik berdiri sudah menghidupi pemukiman warga, setelah Indonesia merdeka justru dimasukkan sebagai kawasan hutan.
Padahal sebagian yang dikelola bukan lagi hutan primer, tapi sudah terbuka. Walhasil, masyarakat dan petugas kucing-kucingan. Masyarakat mengelola diam-diam, petugas menangkap jika tahu.
Kini dengan status perhutanan sosial, masyarakat punya hak legal. Para perempuan pengelola hutan bisa mendapat manfaat sambil memelihara hutan. Tegakan pohon dipertahankan, sambil ditanami tanaman lain yang bernilai ekonomi. Status kelola bisa diwariskan ke keturunan langsung. Walau, tidak bisa dipindahtangankan.
Namun proses pengelolaan hutan tak bisa serta merta selesai setelah pemberian izin. Negara perlu terus melakukan edukasi dan pendampingan, serta mendorong implementasi aturan yang berpihak pada perempuan. Peraturan kementerian tentang pengarusutamaan gender dalam sektor kehutanan bisa jadi landasan alokasi insentif yang lebih besar.
Niscaya investasi pada keunikan dan kekuatan para perempuan penjaga dan pengelola hutan ini akan kembali berlipat ganda. Untuk cita-cita Indonesia yang bukan hanya makmur. Tapi juga adil dan permai.(chm)