- Antara
Kerap Dihujat Sesat, Penulis Buku Kristen Muhammadiyah Justru Merasa Beruntung. Ini Alasannya
Berbagai kecaman, hujatan, hingga hinaan pun dilayangkan kepada Fajar Riza Ul Haq. Ada warga internet yang menghakimi buku tersebut mengajarkan aliran baru yang menyimpang. Bahkan tidak sedikit warga internet menuding bahwa buku tersebut merupakan sinkretisme atau pencampuran elemen-elemen maupun kepercayaan-kepercayaan yang saling bertentangan yang dikarang oleh kelompok sekte sesat.
Ada lagi warga internet, khususnya yang bersumbu pendek--saat buku tersebut kembali dicetak ulang dan diedarkan ke pasaran-- langsung memberi komentar miring terhadap buku tersebut. Bisa jadi yang menghujat itu hanya membaca judul. Tanpa baca isinya, orang akan mudah menafsirkan berbeda, jauh dari isi tulisan dan pesan toleransi yang ingin disampaikan oleh penulisnya.
Mengingat penting dan relevannya buku yang mengulas data dan fakta tentang toleransi antarumat beragama tersebut, Kemendikbud Ristek RI sebelumnya menggelar bedah buku Krismuha.
Bisa diterima
Dalam buku itu tidak ditemukan adanya ajaran agama yang menyimpang maupun sinkretisme. Penulis lebih banyak menceritakan kondisi dunia pendidikan di daerah-daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3-T) seperti beberapa daerah di Indonesia timur.
Fajar Riza Ul Haq menceritakan pengalaman datang langsung ke beberapa daerah 3-T untuk melihat kondisi dunia pendidikan. Ternyata kehadiran lembaga pendidikan Muhammadiyah di daerah minoritas Muslim sangat membantu warga untuk mendapatkan pendidikan di tengah keterbatasan sekolah.
Dalam buku itu, penulis menceritakan di mana banyak warga non-Muslim yang bersekolah di Muhammadiyah. Bahkan banyak lulusannya menjadi pejabat daerah. Umat Kristen dan Katolik yang menimba ilmu di lembaga pendidikan Muhammadiyah mengaku bangga pernah sekolah milik organisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Buku Kristen Muhammadiyah terbit pertama pada tahun 2009 setelah penulisnya selama 1 tahun (2008) melakukan penelitian tentang kondisi pendidikan di daerah 3-T. Namun, pada saat itu dunia media sosial belum semasif seperti sekarang. Akses internet pun masih terbatas sehingga saat kali pertama terbit, buku ini tidak memicu polemik seperti sekarang.