- Sumber: Tim Tvone/ Bajo Winarno
100 Tahun Koentjaraningrat: Sejak Lukisan, Keris Hingga Tradisi Ilmuwan Era Renaisans
Jakarta, tvOnenews.com-Ekspresi pemuda itu nampak berpikir sengat keras. Matanya tajam seperti melihat sesuatu. Tangannya menopang dagu persis seperti gesture pada patung terkenal karya Auguste Rodin, The Thinker. Karya di atas kertas berukuran 20x28 cm bertajuk Aku, bertarik 1947 ini sangat kuat. Pencahayaan pas, tarikan garisnya matang dan percaya diri, seperti dikerjakan pelukis profesional yang mengusai teknik melukis anatomi. Mengacu pada lukisan sebagai jiwa ketok, dalam terminologi Soedjojono, karakter pelukisnya sangat tergambar meski hanya bermedia pensil. Koentjaraningrat --kini dikenal sebagai Bapak Ilmu Antropologi, sang pelukis mengerjakan itu di usia 24 tahun.
Di ruang pamer Bentara Budaya Jakarta sejak 7 hingga 15 Juni 2023 kita bisa menilik kembali kekayaan reportase lapangan Pak Koen--demikian ia biasa dipanggil--bukan dalam bentuk monograf kebudayan atau catatan etnografi, namun dalam bentuk drawing, sketsa dan lukisan. Melihat kembali karya lukis Koentjaraningrat bertajuk 100 Tahun Koentjaraningrat; Pameran Lukisan, Pemikiran dan Koleksi, kita seperti terlempar dalam kehidupan ilmu pengetahuan di zaman aufklarung, ketika seorang ilmuwan dituntut menguasai hampir segala disiplin pengetahuan. Kita tahu jejak Leonardo Da Vinci bukan hanya pada desain arsitektur, ilmu paleontologi, tapi juga pada lukisan Potret Monalisa yang termasyur itu.
Garis garis yang matang, percaya diri, menguasai teknik melukis anatomi (Foto: tvOnenews.com/Bajo Winarno)
Karya Koentjaraningrat didominasi teknik melukis gaya akuarel. Ia banyak memanfaatkan teknik bloboran dari cat air yang membuat lukisan jadi hidup. Ini juga mengingatkan pada ahli naturalis, zoologis atau botanis di masa lalu yang sangat gemar melukis dengan cat air. Georg Everhard Rumphius (1627-1902) membuat ilustrasi 350-an karya bertema berbagai spesies tanaman. Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) juga mewariskan karya karya pensil, cat air, hingga lithografi bertema serupa.
Kumpulan karya sketsa karya Pak Koen (Foto tvOnenews.com/Bako Winarno)
Karya karya sketsa "Menara Pura Batu Bulan"; "Anak Baduy Dalam";"Ibu-Anak Irian" atau "Anak anak Sasak" bisa dilihat dalam barisan "catatan etnografi" itu. Dengan melukisnya kembali Pak Koen membuat objek penelitiannya lebih personal, penuh empati, terlibat. Koentjaraningrat tertarik pada bidang antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia, yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa. Sarjana Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia 1952, ini meraih gelar M.A. bidang Antropologi dari Yale University, AS, 1956 dan doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.
Yang segera tampak adalah lukisan Pak Koen kaya dengan gerak. Obyek penari yang banyak dilukiskan seperti gemulai mengikuti sebuah irama. Pada Penari Jaipong, Penari Topeng atau Gatot Kaca dan Jatayu, misalnya meski dilukis dengan media berbeda (cat air, tinta dan crayon) bagi saya tetap bisa menggambarkan kosa gerak penari. Pada lukisan yang terakhir memang terasa lebih kuat, karena sapuan garis yang matang, dewasa. Sebuah tarikan yang seperti satu kesatuan, tanpa jeda. Ini tak mengherankan karena Koentjaraningrat juga seorang penari. Pada salah satu sudut pameran, ikut dipamerkan berbagai perlengkapan menarinya, sejak beskap, selendang, bara, maupun bantalan.
Buku buku karya Koentjaraningrat (tvOnenews.com/Bajo)
Terlihat sekali Pak Koen terpesona pada kisah kisah manusia. Ia lebih banyak memotret wajah dalam bentuk potret, seringkali sosok sosoknya seperti tengah berjuang di sebuah latar kebudayaan tertentu. Pada karya crayon di atas kertas bertajuk Pria Jepang, bertarik 1993, Koen seperti menggambar kekagumannya pada elan vital sosok lelaki pekerja keras, kepalanya diikat dengan kain putih dengan peluh bercucuran.
Koen menggambar di mana saja. Menggambar mungkin baginya sama dengan membuat catatan etnografi. Sketsa sketsa yang dipamerkan di salah satu sudut misalnya ia menggambar rumah rumah adat, tentara, atau aktivitas orang tua di sebuah desa terpencil, hingga sketsa anak anak. Meutia Farida Hatta, putri Bung Hatta menyebut kerap melihat Koentjaraningrat sibuk menggambar pada saat tengah mengajar di kelas. Menurut Meutia, Pak Koen seperti ingin mengabadikan apapun. Kegemaran Meutia pada fotografi dokumenter dipicu ketika melihat gambar gambar Koentjaraningrat.
Pemeran juga menampilkan benda benda koleksi Koentjaraningrat yang lain, seperti perangko dan keris. Ilmuwan penting yang sebelas jurusan antropologi di sejumlah kampus di Indonesia konsisten dalam sikap dan perbuatan, menjadikan kebudayaan sebagai jalan keluar. Alkisah, ketika menikah dengan Kustiani di Jakarta pada 13 Agustus 1955, ia sebenarnya sudah tak lagi di Indonesia. Waktu itu Koen sudah berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar antropologi di Universitas Yale. Di hadapan penghulu, sosok Koentjaraningrat digantikan keris pusaka warisan ayahnya. Koen seperti ingin bicara, dalam kondisi apapun kebudayaan selalu punya solusi bagi persoalan persoalan kehidupan.(bwo)