- Sumber: Golkarpedia
25 Tahun Reformasi: Ini Peran Nurcholish Madjid dan Yusril Ihza Mahendra Di Balik Detik Detik yang Menentukan Saat Pengunduran Diri Soeharto
Jakarta, tvOnenews.com-Jakarta 18 Mei 1998. Omi Komaria tergopoh gopoh mengejar suaminya, Nurcholish Madjid yang baru turun dari mobil. Sumber kegugupannya adalah telepon dari Saadilah Musryid, Menteri Sekretaris Negara beberapa saat sebelumnya yang menyatakan Presiden Soeharto hendak bicara. Saat diangkat, Nurcholis mendengar suara Soeharto di ujung telepon, bertanya keadaan yang susungguhnya terjadi.
Hari hari itu Indonesia bagai bara dalam sekam. Sepekan sebelumnya, pada 12 Mei 1998, Elang Mulya, Herry Harnanto, Hendriawan Lesmana dan Arifin Royan tertembak saat unjuk rasa di kampus Trisakti.
Esoknya, pada 14 Mei 1998 amarah publik tertahankan. kerusuhan meledak di puluhan tepat di Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Satu juta lebih massa yang turun ke jalan, merusak, menjarah dan membakar toko toko. Ada ratusan mal dan pusat perbelanjaan hangus terbakar.
Nurcholis aktif salah satu tokoh yang paling dipercaya publik berusaha mencari solusi bagi krisis multidimensi yang sedang melanda Indonesia.
Mengomentari rusuh massa, pada salah satu media Nurcholis menyebut bahwa selain mengembalikan kekayaan pada negara, situasi yang genting hanya bisa diselesaikan dengan lengsernya Soeharto. Pada 15 Mei 1998 unjuk rasa mahasiswa tak tertahan lagi. Ribuan mahasiswa bergerak mengempung gedung DPR RI di Gatot Subroto dari arah utara, selatan, barat dan timur. Mereka berhasil masuk dan menduduki gedung parlemen.
Pada Sabtu 17 Mei Nurcholis Majid kembali menyatakan pendapat yang sama, meminta Soeharto mundur untuk mengatasi kebuntuan politik. Tak disangka, Harmoko, Ketua DPR RI yang sangat setia dengan Soeharto membuat pernyataan yang sama: mengharapkan Soeharto mundur secara sukarela.
Lewat telepon itulah, Nurcholis Majid yang saat itu "paling didengar" dan "punya pengaruh" dimintai pendapat Soeharto apa yang sebenarnya terjadi. "Saya menceritakan sebenarnya apa yang terjadi," ujar Nurcholis seperti di tulis Majalah Tempo edisi 5 tahun Reformasi. Jawaban Soeharto membuat Nurcholis Majid lebih terkejut:
"Sudah kalau begitu saya umumkan."
"Kapan?' tanya Nurcholis.
"Besok" ujar Soeharto. Nurcholis yang kaget dengan perkembangan situasi begitu cepat balik bertanya:
"Cepat sekali."
Loh katanya, hitungannya detik," ujar Soeharto.
19 Mei 2998, pukul 09;00 wib Nurcholis Madjid, Abdurahman Wahid, Yusrik Ihza Mahendra, Achmad Bagja, KH Cholis Baidawi, KH Maaruf Amin , KH Ali Yafie, Emha Ainun Najib dan Malik Fajar bertemu dengan Soeharto di Istana. Pada tokoh tokoh terkemuka ini, Soeharto lalu memberikan konsep pengumuman pengunduran dirinya.
Ternyata, konsep yang disusun Soeharto berbeda dengan yang dibahas sebelumnya. Saat itu adanya Yusril yang diselundupkan Nurcholish Madjid untuk ikut bertemu Soeharto (meski kabarnya semula Soeharto menolak Yusril) berjasa besar. Dari Yusril muncul pertimbangan hukum agar pengunduran diri sesuai dengan hukum ketatanegaraan. Dari diskusi saat itu, Soeharto kabarnya tetap tak rela kekuasaannya dilucuti. Soeharto mengusulkan satu kabinet reformasi, dimana anggotanya para tokoh yang hadir.
"Jika nanti komite reformasi dibentuk, jangan ambil salah satu dari kami," ujar Cak Nur.
Soeharto yang berharap pada Cak Nur, terperanjat dengan pernyataan itu, lalu karena terdesak akhirnya "pasrah" dengan konsep yang digagas oleh Yusril Ihza Mahendra. Sejarah lalu mencatat, esoknya, 21 Mei 2998 pada pukul 09:00 di credential room Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya (bwo)